Efektivitas Keterlibatan Pemuda dalam Pemilu 2014 Sebagai Wujud Transformasi Kepemimpinan Demokrasi di Indonesia
Februari 24, 2016
Add Comment
Pengertian Pemilihan Umum
Salah satu ciri dari Negara demokratis dibawah rule of law adalah terselenggaranya kegiatan pemilihan umum yang bebas. Pemilihan umum merupakan sarana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat dalam hal memilih wakil-wakil mereka di lembaga legislatif serta memilih pemegang kekuasaan eksekutif baik itu presiden/ wakil presiden maupun kepala daerah. Pemilihan umum bagi suatu Negara demokrasi berkedudukan sebagai sarana untuk menyalurkan hak asasi politik rakyat.
Selain itu Pemilihan umum dalam Undang-undang No 3 Tahun 1999 pasal 1 diartikan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Tujuan Pemilihan Umum pada pemerintahan yang demokratis, pemilihan umum merupakan pesta demokrasi. Secara umum tujuan pemilihan umum adalah
Perbedaan Pemilu 2014 dengan Pemilu Sebelumnya
Dalam pelaksanaan Pemilu 2014 ada beberapa perbedaan dengan pemilu ditahun-tahun sebelumnya. Perbedaan yang sangat mendasar ini terletak dalam partai poltik Demokrat dimana Susilo Bambang Yodhoyono tidak dapat mencalonkan lagi sebagai Presiden. Selain itu, perbedaan itu muncul dalam aturan yang ditetapkan. Dalam UU Nomor 8 Tahun Tahun 2012, pada awalnya ditetapkan bahwa ambang batas parlemen sebesar 3,5% juga berlaku untuk DPRD. Akan tetapi, setelah digugat oleh 14 partai politik, Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan ambang batas 3,5% tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD.
Dalam hal peserta, Pemilu di tahun 2014 jumlah Partai Politik yang ikut serta jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan Pemilu 2009. Dimana KPU hanya meloloskan 16 Partai Politik yang lolos secara administrasi sebagai peserta Pemilu 2014.
Berikut adalah daftar dan nomor urut Partai Politik peserta Pemilu 2014:
Membaca UU No 40/2009 tentang Kepemudaan, asumsi kaum muda yang disebutkan atau diklaim oleh partai politik tertolak dengan sendirinya. Pasal 1 Ayat 1 UU itu menyatakan: "Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun."
Menurut Kartono (1990), umur remaja dibagi tiga: remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan (15-18), dan remaja akhir (18-21). Sementara itu, umur 16-30 tahun adalah umur pemuda menurut UU No 40/ 2009. Terlepas dari itu semua, asumsi pemuda yang diklaim oleh partai politik dalam menempatkan caleg mereka ternyata tidak terpenuhi. Padahal, dalam wilayah umur sesuai dengan UU tersebut, jumlah kaum muda mencapai 62 juta jiwa lebih atau 25 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dilihat dari jumlah pemilih, golongan ini terdiri atas pemilih pemula dan pemilih lanjutan.
Jumlah Kader Muda dalam Setiap Partai Politik
Dalam daftar calon sementara (DCS) Partai Demokrat, berdasarkan pertimbangan umur, ada 60 persen caleg berusia di bawah 50 tahun dan dari 60 persen itu, ada sekitar 27 persen berusia 21-40 tahun. Di Partai Golkar ada 216 (38,57 persen) caleg yang berusia di bawah 45 tahun. Di PKS mayoritas bakal caleg yang berusia 30-50 tahun mencapai 81 persen. Di Partai Hanura 50 persen adalah kaum muda. Nasdem menengarai ada sekitar 70 persen kaum muda, sementara PAN 50 persen.
Ketidak Konsistenan Partai Politik
Ada sejumlah persoalan yang menunjukkan ketidakkonsistenan partai politik dalam menempatkan pemuda untuk transformasi kekuasaan bila dilihat dari DCS yang mereka serahkan.
Pertama, penyebutan kaum muda dalam DCS mereka bertentangan dengan apa yang tertuang dalam UU No 40/2009. Umur pemuda menurut perspektif mereka adalah 30-50 tahun, suatu klaim politik yang tentu saja tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan UU. Kedua, partai politik tidak konsisten dan mengambil sikap kontradiksi dengan nomenklatur UU yang mereka sahkan sendiri. UU No 40/2009 tentang Kepemudaan sebagaimana tertuang dalam Lembaran Negara Nomor 5067 disetujui dan disahkan oleh partai politik pada 2009. Jika mereka menyangkal dengan sikap dan kebijakan politik yang mereka ambil, tentu saja ini tidak baik bagi pembelajaran politik.
Ketiga, dominasi politisi tua dalam Pemilu 2014 juga merupakan salah satu tontonan yang kurang mengasyikkan. Terlalu lama "lu lagi-lu lagi" terus yang tampangnya dipajang di baliho- baliho. Mereka yang sudah tua seharusnya membimbing barisan anak-anak muda melakukan transformasi secepatnya bagi masa depan politik Indonesia. Kekuatan oligarkis yang dikomandoi oleh kelompok tua pada dasarnya tidak memberikan kontribusi yang terlalu cerah bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Keempat, Pemilu 2014 seharusnya menjadi ruang bagi menguatnya arus baru perubahan dengan orang-orang baru, paradigma baru, aktor baru, dan tentu saja tradisi baru. Lapuknya tradisi lama yang dikuasai oleh orang-orang tua seharusnya disadari bahwa ini kurang menguntungkan bagi masa depan politik Indonesia. Hal inilah yang menjadi persoalan mengapa Indonesia gagal melakukan konsolidasi politik dan pematangan demokrasi.
Demokrasi menuju Oligarkis
Secara etimologis Oligarki berasal dari bahasa Yunani yaitu OligarkhĂa yang memiliki arti sedikit memerintah. Secara istilah oligarki dapat diartikan bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil darimasyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.
Menurut Profesor Ilmu Politik Universitas Northwestern Jeffrey A Winters Oligarki dinilai dapat membelokkan dan mendominasi sistem politik di Indonesia. "Oligarki asimetri dalam material (uang) yang membelokkan, membentuk, dan mendominasi politik pada umumnya. Oligarki merupakan kekuasaan yang berdasarkan pada konsentrasi kekayaan”.
Upaya Melibatkan Pemuda
Oleh sebab itu, kelompok usia ini seharusnya menjadi umur produktif bagi kaum muda untuk dilibatkan secara langsung dalam politik praktis. Mereka seharusnya sudah mulai menjadi pengurus partai politik, menjadi calon anggota badan legislatif, serta terlibat secara langsung dalam proses-proses dalam keputusan politik.
Namun, ini sulit terjadi mengingat dominasi kelompok tua sebagaimana yang diuraikan di atas. Dominasi kaum tua ini dibarengi dengan mahalnya ongkos politik yang diterapkan oleh partai-partai politik, berkembangnya istilah mahar yang diterjemahkan sebagai ongkos kampanye dan tim sukses. Akibatnya, kaum muda berdiri di pinggir panggung menjadi penonton akrobat politik kaum tua dan menunggu belas kasihan atau menjadi pelaku politik dinasti.
Sebab itulah, harus ada komitmen partai politik dan kelompok tua yang menguasai infrastruktur politik agar melakukan transformasi dan memberikan ruang pernapasan bagi kaum muda dengan catatan, tentunya keaktifan mereka bukan sekadar karena politik dinasti yang mulai kembali marak sekarang ini. Ketidakberdayaan kaum muda menguasai partai politik sebagai infrastruktur kenegaraan kita dapat menimbulkan akibat fatal bagi kehidupan ketatanegaraan.
Oleh karena itu, salah satu jalan terbaik untuk menyelamatkan pemuda kita adalah dengan memberi ruang seluas-luasnya untuk mengekspresikan jiwa muda mereka melalui pelibatan kelompok muda pada partai politik yang ada saat ini.
Sumber :
Kompas. “Pemuda pada Pemilu 2014”. Edisi Selas 6 Agustus 2013.
Budiardjo, Miriam .2008.dasar-dasar ilmu politik (edisi revisi). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Prihatmoko, dkk. 2008.Menang Pemilu Ditengah Oligarki Partai.Yogyakarta : Pustaka Pelajar
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum. Diunduh pada: 11/ 09/ 2013. Pkl: 15.45
Salah satu ciri dari Negara demokratis dibawah rule of law adalah terselenggaranya kegiatan pemilihan umum yang bebas. Pemilihan umum merupakan sarana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat dalam hal memilih wakil-wakil mereka di lembaga legislatif serta memilih pemegang kekuasaan eksekutif baik itu presiden/ wakil presiden maupun kepala daerah. Pemilihan umum bagi suatu Negara demokrasi berkedudukan sebagai sarana untuk menyalurkan hak asasi politik rakyat.
Selain itu Pemilihan umum dalam Undang-undang No 3 Tahun 1999 pasal 1 diartikan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Tujuan Pemilihan Umum pada pemerintahan yang demokratis, pemilihan umum merupakan pesta demokrasi. Secara umum tujuan pemilihan umum adalah
- Melaksanakan kedaulatan rakyat
- Sebagai perwujudan hak asas politik rakyat
- Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif serta memilih Presiden dan wakil Presiden.
- Melaksanakan pergantian pemerintahan secara aman, damai dan tertib..
- Menjamin kesinambungan pembangunan nasional.
Perbedaan Pemilu 2014 dengan Pemilu Sebelumnya
Dalam pelaksanaan Pemilu 2014 ada beberapa perbedaan dengan pemilu ditahun-tahun sebelumnya. Perbedaan yang sangat mendasar ini terletak dalam partai poltik Demokrat dimana Susilo Bambang Yodhoyono tidak dapat mencalonkan lagi sebagai Presiden. Selain itu, perbedaan itu muncul dalam aturan yang ditetapkan. Dalam UU Nomor 8 Tahun Tahun 2012, pada awalnya ditetapkan bahwa ambang batas parlemen sebesar 3,5% juga berlaku untuk DPRD. Akan tetapi, setelah digugat oleh 14 partai politik, Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan ambang batas 3,5% tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD.
Dalam hal peserta, Pemilu di tahun 2014 jumlah Partai Politik yang ikut serta jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan Pemilu 2009. Dimana KPU hanya meloloskan 16 Partai Politik yang lolos secara administrasi sebagai peserta Pemilu 2014.
Berikut adalah daftar dan nomor urut Partai Politik peserta Pemilu 2014:
- Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem)
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
- Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA)
- Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
- Partai Bulan Bintang (PBB)
- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
- Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
- Partai Golongan Karya (Partai Golkar)
- Partai Demokrasi Pembaruan (PDP)
- Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra)
- Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB)
- Partai Demokrat
- Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
- Partai Amanat Nasional (PAN)
- Partai Persatuan Nasional (PPN)
Membaca UU No 40/2009 tentang Kepemudaan, asumsi kaum muda yang disebutkan atau diklaim oleh partai politik tertolak dengan sendirinya. Pasal 1 Ayat 1 UU itu menyatakan: "Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun."
Menurut Kartono (1990), umur remaja dibagi tiga: remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan (15-18), dan remaja akhir (18-21). Sementara itu, umur 16-30 tahun adalah umur pemuda menurut UU No 40/ 2009. Terlepas dari itu semua, asumsi pemuda yang diklaim oleh partai politik dalam menempatkan caleg mereka ternyata tidak terpenuhi. Padahal, dalam wilayah umur sesuai dengan UU tersebut, jumlah kaum muda mencapai 62 juta jiwa lebih atau 25 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dilihat dari jumlah pemilih, golongan ini terdiri atas pemilih pemula dan pemilih lanjutan.
Jumlah Kader Muda dalam Setiap Partai Politik
Dalam daftar calon sementara (DCS) Partai Demokrat, berdasarkan pertimbangan umur, ada 60 persen caleg berusia di bawah 50 tahun dan dari 60 persen itu, ada sekitar 27 persen berusia 21-40 tahun. Di Partai Golkar ada 216 (38,57 persen) caleg yang berusia di bawah 45 tahun. Di PKS mayoritas bakal caleg yang berusia 30-50 tahun mencapai 81 persen. Di Partai Hanura 50 persen adalah kaum muda. Nasdem menengarai ada sekitar 70 persen kaum muda, sementara PAN 50 persen.
Ketidak Konsistenan Partai Politik
Ada sejumlah persoalan yang menunjukkan ketidakkonsistenan partai politik dalam menempatkan pemuda untuk transformasi kekuasaan bila dilihat dari DCS yang mereka serahkan.
Pertama, penyebutan kaum muda dalam DCS mereka bertentangan dengan apa yang tertuang dalam UU No 40/2009. Umur pemuda menurut perspektif mereka adalah 30-50 tahun, suatu klaim politik yang tentu saja tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan UU. Kedua, partai politik tidak konsisten dan mengambil sikap kontradiksi dengan nomenklatur UU yang mereka sahkan sendiri. UU No 40/2009 tentang Kepemudaan sebagaimana tertuang dalam Lembaran Negara Nomor 5067 disetujui dan disahkan oleh partai politik pada 2009. Jika mereka menyangkal dengan sikap dan kebijakan politik yang mereka ambil, tentu saja ini tidak baik bagi pembelajaran politik.
Ketiga, dominasi politisi tua dalam Pemilu 2014 juga merupakan salah satu tontonan yang kurang mengasyikkan. Terlalu lama "lu lagi-lu lagi" terus yang tampangnya dipajang di baliho- baliho. Mereka yang sudah tua seharusnya membimbing barisan anak-anak muda melakukan transformasi secepatnya bagi masa depan politik Indonesia. Kekuatan oligarkis yang dikomandoi oleh kelompok tua pada dasarnya tidak memberikan kontribusi yang terlalu cerah bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Keempat, Pemilu 2014 seharusnya menjadi ruang bagi menguatnya arus baru perubahan dengan orang-orang baru, paradigma baru, aktor baru, dan tentu saja tradisi baru. Lapuknya tradisi lama yang dikuasai oleh orang-orang tua seharusnya disadari bahwa ini kurang menguntungkan bagi masa depan politik Indonesia. Hal inilah yang menjadi persoalan mengapa Indonesia gagal melakukan konsolidasi politik dan pematangan demokrasi.
Demokrasi menuju Oligarkis
Secara etimologis Oligarki berasal dari bahasa Yunani yaitu OligarkhĂa yang memiliki arti sedikit memerintah. Secara istilah oligarki dapat diartikan bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil darimasyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.
Menurut Profesor Ilmu Politik Universitas Northwestern Jeffrey A Winters Oligarki dinilai dapat membelokkan dan mendominasi sistem politik di Indonesia. "Oligarki asimetri dalam material (uang) yang membelokkan, membentuk, dan mendominasi politik pada umumnya. Oligarki merupakan kekuasaan yang berdasarkan pada konsentrasi kekayaan”.
Upaya Melibatkan Pemuda
Oleh sebab itu, kelompok usia ini seharusnya menjadi umur produktif bagi kaum muda untuk dilibatkan secara langsung dalam politik praktis. Mereka seharusnya sudah mulai menjadi pengurus partai politik, menjadi calon anggota badan legislatif, serta terlibat secara langsung dalam proses-proses dalam keputusan politik.
Namun, ini sulit terjadi mengingat dominasi kelompok tua sebagaimana yang diuraikan di atas. Dominasi kaum tua ini dibarengi dengan mahalnya ongkos politik yang diterapkan oleh partai-partai politik, berkembangnya istilah mahar yang diterjemahkan sebagai ongkos kampanye dan tim sukses. Akibatnya, kaum muda berdiri di pinggir panggung menjadi penonton akrobat politik kaum tua dan menunggu belas kasihan atau menjadi pelaku politik dinasti.
Sebab itulah, harus ada komitmen partai politik dan kelompok tua yang menguasai infrastruktur politik agar melakukan transformasi dan memberikan ruang pernapasan bagi kaum muda dengan catatan, tentunya keaktifan mereka bukan sekadar karena politik dinasti yang mulai kembali marak sekarang ini. Ketidakberdayaan kaum muda menguasai partai politik sebagai infrastruktur kenegaraan kita dapat menimbulkan akibat fatal bagi kehidupan ketatanegaraan.
Oleh karena itu, salah satu jalan terbaik untuk menyelamatkan pemuda kita adalah dengan memberi ruang seluas-luasnya untuk mengekspresikan jiwa muda mereka melalui pelibatan kelompok muda pada partai politik yang ada saat ini.
Sumber :
Kompas. “Pemuda pada Pemilu 2014”. Edisi Selas 6 Agustus 2013.
Budiardjo, Miriam .2008.dasar-dasar ilmu politik (edisi revisi). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Prihatmoko, dkk. 2008.Menang Pemilu Ditengah Oligarki Partai.Yogyakarta : Pustaka Pelajar
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum. Diunduh pada: 11/ 09/ 2013. Pkl: 15.45
0 Response to "Efektivitas Keterlibatan Pemuda dalam Pemilu 2014 Sebagai Wujud Transformasi Kepemimpinan Demokrasi di Indonesia"
Posting Komentar