Kebijakan Keras Pemerintah Kolonial HINDIA BELANDA
Agustus 27, 2018
Add Comment
Ilmusosial.info - Pada saat pemerintahan van Limburg Stirum di tahun 1916 hingga 1921, muncul berbagai pemberontakan yang dilancarkan para petani, misalnya di Pasar Rebo (1916), Jambi (1916), Cimareme (1918), dan juga Toli Toli (1920). Pemberontakan petani-petani tersebut ternyata memicu dukungan dari berbagai organisasi, misalnya CSI dan PFB (Personel Fabriek Bond).
Gubernur Jenderal van Limburg Stirum cukup bijaksana mencermati persoalan yang terjadi. la berjanji akan menggalakan perubahan terhadap sistem administrasi pemerintahan Hindia Belanda dan pula kekuasaan Dewan Rakyat sehingga dapat meredam gejolak masyarakat.
Pengganti van Limburg Stirum ialah Gubernur Jenderal Dirk Fock yang bersikap otokratis dan mengabaikan kekuatan rakyat yang sedang berkembang. Pada masa Dirck Fork timbul pemogokan seperti di Pegadaian Yogyakarta (Januari 1922) dan di kawasan Kereta Api (Mei 1923).
Pemerintah mengambil tindakan tegas atas kejadian-kejadian tersebut. Hak melangsungkan pertemuan-pertemuan ditiadakan, wilayah Yogyakarta dikuasai polisi, serta banyak buruh dipecat. Pada 1926 akhirnya Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Akibat dari kejadian itu ialah dimulailah periode penindasan pada organisasi pergerakan di Indonesia. Akhirnya yang terjadi ialah makin kuat radikalisme pergerakan makin represif dan reaksioner. Begitu pula tindakan yang diambil oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Tindakan demokratis dan permisif terhadap pergerakan diperlihatkan oleh de Graeff (1926-1931) pengganti Dirk Fock. Tetapi tindakan tersebut berubah pada pemerintahan de Jonge (1931 -1936) yang menggantikan De Graeff.
Pada saat de Jonge berkuasa Hindia Belanda sedang terkena krisis ekonomi dunia. Tak berjalannya perbankan, berbagai pabrik, maupun industri mengakibatkan munculnya pemecatan buruh besar-besaran. Akibatnya pengangguran besar-besaran pun timbul dan eksploitasi terhadap Indonesia semakin memilukan. Hal ini memicu kaum pergerakan semakin intensif melakukan koordinasi.
Dalam bidang politik, pemerintah kolonial pula melakukan kebijakan yang sangat reaksioner terhadap dunia pergerakan nasional. Terutama Gubernur Jenderal de Jonge yang ketika itu bersikap tegas dan keras kepada kaum pergerakan.
Dia melakukan pengawasan ketat kepada rapat-rapat umum, melakukan penangkapan dan juga pemenjaraan kepada sejumlah aktivis sampai melarang kegiatan pers. Seakan pergerakan nasional sudah mati suri pada masa krisis ekonomi.
Demikian penjelasan mengenai KEBIJAKAN KERAS PEMERINTAH KOLONIAL HINDIA BELANDA, semoga bisa bermanfaat.
Gubernur Jenderal van Limburg Stirum cukup bijaksana mencermati persoalan yang terjadi. la berjanji akan menggalakan perubahan terhadap sistem administrasi pemerintahan Hindia Belanda dan pula kekuasaan Dewan Rakyat sehingga dapat meredam gejolak masyarakat.
Pengganti van Limburg Stirum ialah Gubernur Jenderal Dirk Fock yang bersikap otokratis dan mengabaikan kekuatan rakyat yang sedang berkembang. Pada masa Dirck Fork timbul pemogokan seperti di Pegadaian Yogyakarta (Januari 1922) dan di kawasan Kereta Api (Mei 1923).
Pemerintah mengambil tindakan tegas atas kejadian-kejadian tersebut. Hak melangsungkan pertemuan-pertemuan ditiadakan, wilayah Yogyakarta dikuasai polisi, serta banyak buruh dipecat. Pada 1926 akhirnya Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Akibat dari kejadian itu ialah dimulailah periode penindasan pada organisasi pergerakan di Indonesia. Akhirnya yang terjadi ialah makin kuat radikalisme pergerakan makin represif dan reaksioner. Begitu pula tindakan yang diambil oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Tindakan demokratis dan permisif terhadap pergerakan diperlihatkan oleh de Graeff (1926-1931) pengganti Dirk Fock. Tetapi tindakan tersebut berubah pada pemerintahan de Jonge (1931 -1936) yang menggantikan De Graeff.
Pada saat de Jonge berkuasa Hindia Belanda sedang terkena krisis ekonomi dunia. Tak berjalannya perbankan, berbagai pabrik, maupun industri mengakibatkan munculnya pemecatan buruh besar-besaran. Akibatnya pengangguran besar-besaran pun timbul dan eksploitasi terhadap Indonesia semakin memilukan. Hal ini memicu kaum pergerakan semakin intensif melakukan koordinasi.
Dalam bidang politik, pemerintah kolonial pula melakukan kebijakan yang sangat reaksioner terhadap dunia pergerakan nasional. Terutama Gubernur Jenderal de Jonge yang ketika itu bersikap tegas dan keras kepada kaum pergerakan.
Dia melakukan pengawasan ketat kepada rapat-rapat umum, melakukan penangkapan dan juga pemenjaraan kepada sejumlah aktivis sampai melarang kegiatan pers. Seakan pergerakan nasional sudah mati suri pada masa krisis ekonomi.
Demikian penjelasan mengenai KEBIJAKAN KERAS PEMERINTAH KOLONIAL HINDIA BELANDA, semoga bisa bermanfaat.
0 Response to "Kebijakan Keras Pemerintah Kolonial HINDIA BELANDA"
Posting Komentar