-->

Agresi Militer I dan II

Agresi Militer Belanda I
Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini. Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok kepada dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati.

Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.

Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling|pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat. Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.

Serangan yang dilakukan oleh Belanda dilatarbelakangi oleh tidak dikabulkannya tuntutan Belanda. Pasukan bersenjata Belanda dengan bantuan angkatan udara yang kuat, menyebar ke daratan dari pangkalan pelabuhan laut mereka di Jawa dan Sumatra. Mereka menyusup ke dalam wilayah Republik. Dalam waktu dua minggu, Belanda sudah menguasai kebanyakan kota besar dan kota-kota kecil utama di Jawa Barat dan Jawa Timur, sebagian hubungan-hubungan komunikasi utama di antara kota-kota tersebut, dan telah menduduki pelabuhan-pelabuhan perairan laut dalam Republik lainnya, yang terletak di Jawa(George Mc T Kahin, 1995:268) Selain itu mereka berhasil menguasai daerah-daerah penghasil minyak yang berharga di sekitar kota Palembang serta pelabuhan-pelabuhan utama di pantai Sumatra Barat. Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.

Agresi terbuka Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia(SNI VI : 220). Pada tanggal 28 Juli, India melalui perdana menteri Nehru mengumumkan bahwa India akan menyerahkan situasi Indonesia kepada PBB. Dua hari kemudian, India dan Australia membawa pertikaian antara Indonesia dan Belanda ke hadapan PBB. Austrlia meminta campur tangan PBB dengan alasan bahwa saat itu sudah terjadi suatu pelanggaran perdamaian, sedangkan alasan India adalah pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional berada dalam bahaya. Australia mengusulkan suatu resolusi yang menyerukan agar Belanda dan Indonesia segera menghentikan pertempuran, dan meyerahkan pertikaian mereka kepada wasit pihak ketiga seperti yang disebutkan dalam persetujuan Linggartjati(George Mc T Kahin, 1995:270)

Tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak yang dimulai pada tanggal 4 Agustus 1947 (SNI VI : 220). Penghentian permusuhan ini dilakukan dengan dibentuknya Komisi Tiga Negara (KTN). Pemerintah Indonesia meminta Australia untuk menjadi anggota komisi, sedangkan Belanda memilih Belgia. Kedua negara sepakat memilih Amerika Serikat. Australia diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zealand, dan Amerika diwakili oleh Dr. Frank Graham. Pada tanggal 8 Desember, KTN mengadakan sidang resminya yang pertama dengan delegasi Republik dan delegasi Belanda dalam wilayah yang netral, yaitu di geladak kapal Renville yang berlabuh di pelabuhan Batavia. KTN berhasil mempertemukan kembali kedua belah pihak untuk menandatangani perstujuan genjatan senjata dengan prinsip-prinsip politik yang telah disetujui bersama dengan disaksikan KTN di atas kapal Renville pada 17 Januari 1948.

Pada 21.00 tanggal 18 Desember 1948 pihak Belanda menyampaikan surat kepada Jusuf Ronodipuro, liaison officer delegasi RI di Jakarta. Isinya, terhitung mulai pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 Belanda tidak lagi terikat dengan persetujuan Renville dan perjanjian genjatan senjata (SNI VI: 248). Berita ini tidak berhasil disampaikan ke pemerintahan RI di Yogyakarta pada malam itu juga karena dihalangi oleh Belanda. Berita pertama tentang Belanda memutuskan Perjanjian Genjatan Senjata Renville diterima di Yogyakarta pada jam 5.30 berupa suatu serangan pesawat pembom Belanda (Mitchel buatan Amerika) di atas lapangan udara terdekat (George Mc T Kahin, 1995:426). Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Menjelang tengah petang, setelah mengepung kota, Brigade Marinir Belanda, dibantu oleh sejumlah besar pasukan Ambon dari KNIL berhasil mencapai pusat kota ke istana Presiden. Taktik cepat yang digunakan Belanda berhasil menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan separuh anggota kabinet Republik. Sebelum tertangkap, kabinet sempat bersidang. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak akan meninggalkan ibukota (SNI VI : 258). Hal ini dikarenakan tidak adanya pasukan yang mengawal mereka ke luar kota. Selain itu, apabila tetap di dalam kota, hubungan dengan KTN masih dapat dilakukan dan dengan perantaraan KTN, perundingan dengan Belanda dapat dibuka kembali. Keputusan yang lain dari sidang pada tanggal 19 Desember 1948 adalah memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran, Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra. Mandat juga diberikan kepada dr. Sudarsono, A. A. Maramis, dan L. N, Palar untuk membentuk exile government di luar negeri bila usaha Sjafruddin Prawiranegara gagal.

Pada tanggal 20 Desember 1948 pagi, Belanda meminta agar Soekarno memerintahkan pasukan Republik menghentikan perlawanan. Soekarno menolak dan pada tanggal 22 Desember ia, Hatta, Sjahrir, Mr. Assaat, Mr Abdul Gafar Pringgodigdo, H Agoes Salim, Mr Ali Sastroamodjojo, dan Komodor Udara Suriadarma diterbangkan Belanda ke Pulau Bangka. Di sana, Soekarno, Sjahrir, dan Salim dipisahkan dengan yang lainnya dan diterbangkan ke Berastagi, kemudian ke Prapat dan Danau Toba.

Jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda dan tertangkapnya pemimpin negara yang kemudian di asingkan membuat Penglima Besar Soedirman Berangkat ke luar kota untuk memimpin perang gerilya. Sesuai dengan rencana, Angakatan Perang mengundurkan diri ke luar kota untuk melakukan perang gerilya. Pasukan yang tadinya dipindahkan akibat persetujuan Renville melakukan wingate ke daerah asal mereka. Pasukan Siliwangi melakukan long march dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. TNI membentuk daerah-daerah pertahanan (wehrkreise) di luar kota. Setelah berhasil melakukan konsolidasi, TNI mulai melakukan pukulan-pukulan terhadap Belanda. Pukulan yang pertama adalah garis-garis komunikasi pasukan Belanda. Mereka merusak jaringan telepon, jaringan rel kereta api, dan konvoi-konvoi Belanda di hadang dan dihancurkan.

Situasi perang mulai berbalik. TNI yang pada awalnya bertahan mulai beralih dengan taktik menyerang. Mereka tidak lagi hanya mencegat dan menyerang konvoi-konvoi Belanda serta menyerang pos-pos terpencil, tetapi mereka juga menyerang kota-kota yang diduduki oleh Belanda. Serangan terhadap kota Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949 dibawah pimpinan Letkol Soeharto berhasil dilakukan selama enam jam. Hal ini membuktikan kepada dunia luar bahwa TNI dan Republik Indonesia masih eksis. Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggarjati.

Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.

Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

Agresi Militer Belanda II

Dampak dari Agresi Militer belandan II yang dilakukan oleh bangsa Belanda terhadap republik Indonesia adalah mengakibatkan hancurnya beberapa bangunan penting di ibu kota Yogyakarta, bahkan Yogyakarta yang pada saat itu sebagai ibu kota Indonesia juga mampu dikuasai oleh Belanda. Selain itu presiden ir soekarno dan wakil presiden moh hatta beserta sejumalah pejabat pemerintah Indonesia berhasil ditawan kemudian diasingkan oleh pihak Belanda.

Belanda mengirah dengan jatuhnya ibu kota yogyakarta,pasukan TNI sudah habis ternyata dugaan bangsa belanda meleset bahwa sahnya pasukan TNI belum habis dan dengan waktu yang relatif singkat pasukan TNI berhasil menyesuaikan dengan kondisi yang ada dan mulai bergerak dan memberikan serangan balik terhadap pihak belanda dan serangan yang paling dikenal yang dilakukan pihak TNI terhadap pihak belanda adalah serangan umum 1 maret 1949 terhadap kota yogyakarta.

Sumber
Kahin, George Mc Turnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, cetakan kedua. Solo: UNS Press
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indoesia VI, edisi pemutakhiran, cetakan keempat. Jakarta: Balai Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_I Kamis 9 Oktober 2014 pukul 23.41
http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II Selasa 7 Oktober 2014 pukul 22.00
http://sejarah-interaktif.blogspot.com/2011/10/agresi-militer-belanda-i-dan-ii.html Rabu 16 Oktober 21.00
http://www.sejarahnusantara.com/perang-kemerdekaan-indonesia/operasi-gagak-agresi-militer-belanda-ii-dan-pengasingan-presiden-soekarno-19-desember-1948-10-juli-194 Kamis, 17 Oktober pukul 00.06

0 Response to "Agresi Militer I dan II"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel