BEDAH BUKU “Serangan Umum 1 Maret 1949 Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”
Februari 04, 2016
Add Comment
IDENTITAS BUKU
Judul : Serangan Umum 1 Maret 1949 Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Penulis : Batara R Hutagalung
Penerbit :LKIS
Tahun terbit :2010
Kategori :Sejarah Indonesia
Sinopsis
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna memutarbalikkan propaganda Belanda.
Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarganya tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlunya meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda, atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.
Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati Sangidi. Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.
Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.
Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.
Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.
Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal. Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.
Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait. Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, cocok dengan catatan harian Simatupang tertanggal 18 Februari 1949 yang dimuat dalam buku Laporan dari Banaran, di mana tertera: Kolonel Bambang Sugeng, yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta - Kedu - Banyumas - Pekalongan - sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran. Juga apabila mencocokkannya dengan tulisan Budiarjo terbukti, bahwa Simatupang banyak terlibat dalam persiapan serangan tersebut. Hal ini dapat dilihat, bahwa Simatupang telah mempersiapkan teks dalam bahasa Inggris tanggal 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks tersebut disiarkan oleh pemancar AURI Playen, setelah serangan dilaksanakan tanggal 1 Maret 1949. Juga dari catatan Simatupang dapat dilihat, bahwa di Wiladek mereka juga telah "dipersiapkan" untuk menyiarkan berita mengenai serangan atas Yogyakarta. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa Simatupang juga memberikan teks yang akan dibacakan seperti halnya di Playen, karena dalam catatan hariannya, Simatupang sendiri tidak menyebutkan nama Budiarjo ketika dia menyampaikan teks yang akan dibacakan di Playen. Di sini terlihat jelas, bahwa "Serangan Spektakuler" tersebut adalah suatu skenario -rekayasa- untuk konsumsi dunia internasional.Catatan harian tersebut, yang tertulis dalam buku Laporan dari Banaran, sekaligus juga menunjukkan keterlibatan besar dari Simatupang, yang dalam hirarki militer beberapa tingkat di atas Suharto. Buku Laporan dari Banaran diterbitkan pertama kali tahun 1960, ketika Suharto belum menjadi Presiden, dan episode perjuangan tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak ditulis untuk kepentingan penguasa.
Perencanaan serangan tersebut sangat dirahasiakan, sehingga selain pucuk pimpinan tertinggi militer dan sipil, pada waktu itu hampir tidak ada anggota staf di jajaran bawah, yang mengetahui mengenai rencana tersebut, bahkan staf Gubernur Militer sekalipun. Seorang pelaku sejarah menyampaikan, bahwa dia sebagai anggota staf GM III yang berada di lereng gunung Sumbing, baru mengetahui mengenai serangan tersebut setelah serangan dilancarkan. Begitu juga dengan para pelaksana di lapangan, tidak mengetahui mengenai perencanaan serta Grand Design serangan umum, sebagaimana diungkapkan oleh seorang pelaku di lapangan, Kol. (Purn.) A. Latief (waktu itu komandan kompi, berpangkat Kapten).
Jadi sangat jelas, bahwa setiap komandan hanya mengetahui sebatas tugas yang diberikan kepadanya dan mempunyai wewenang hanya atas pasukannya. Pernyataan Suharto, seperti disampaikan dalam otobiografinya, selain tidak logis dan tampak hanya mengarang cerita belaka, dapat dibantah berdasarkan bukti yang ada.
Kelebihan buku
Buku ini memiliki beberapa kelebihan, di antaranya, ditulis dengan gaya bahasa sederhana sehingga mudah dipahami. Pemaparan fakta sejarahnya didukung oleh sumber lisan dan tulisan yang memadai. Uraiannya telah membuktikan bahwa peristiwa sejarah terjadi karena serangkaian sebab dan akibat. Perlu dibaca oleh para guru sejarah untuk tambahan wawasan dalam menjelaskan peristiwa demi peristiwa kepada siswa agar sebagai generasi muda, mereka benar-benar belajar dari sejarah bangsanya yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran, dan bukan kepada pembenaran." (Dra. Ratna Hapsari, M.Si., Guru Sejarah, Ketua Umum Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI). Dahsyat dan mengharukan, buku ini mampu menggugah kesadaran kolektif kita dan bahkan memompa spirit nasionalisme kita untuk selalu sadar jangan sampai sudah 'merdeka', tetapi tidak berdaya dan terpasung oleh mental inlander yang selalu minder dengan segelintir bangsa-bangsa asing yang masih bermental penjajah dan serakah. Salut dan bangga atas prestasi penulis yang mampu merekam dan memberi makna atas jejak rekam perjalanan bangsa Indonesia menggapai cita-cita Proklamasi 17.8.1945.
Kekurangan buku
mengandung sangat banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi dengan berbagai dokumen otentik yang sangat penting, namun di sisi lain, kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah digariskan oleh penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum adalah Suharto. Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, yaitu Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949, dan yang terpenting adalah Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas tertera Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol Suharto dan Komandan Daerah I Letkol. M. Bachrun. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949 menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap memegang kendali operasi dan selalu melibatkan seluruh potensi yang ada di bawah komandonya. Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan terhadap Yogyakarta tersebut adalah bagian dari operasi Gubernur Militer III, yang juga melibatkan pasukan di bawah komando Gubernur Militer II. Koordinasi pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak mungkin dilakukan oleh seorang komandan Brigade: Serangan yang akan dilaksanakan oleh Wehrkreis III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan operasi untuk mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.
Judul : Serangan Umum 1 Maret 1949 Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Penulis : Batara R Hutagalung
Penerbit :LKIS
Tahun terbit :2010
Kategori :Sejarah Indonesia
Sinopsis
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna memutarbalikkan propaganda Belanda.
Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarganya tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlunya meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda, atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.
Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati Sangidi. Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.
Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.
Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.
Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.
Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal. Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.
Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait. Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, cocok dengan catatan harian Simatupang tertanggal 18 Februari 1949 yang dimuat dalam buku Laporan dari Banaran, di mana tertera: Kolonel Bambang Sugeng, yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta - Kedu - Banyumas - Pekalongan - sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran. Juga apabila mencocokkannya dengan tulisan Budiarjo terbukti, bahwa Simatupang banyak terlibat dalam persiapan serangan tersebut. Hal ini dapat dilihat, bahwa Simatupang telah mempersiapkan teks dalam bahasa Inggris tanggal 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks tersebut disiarkan oleh pemancar AURI Playen, setelah serangan dilaksanakan tanggal 1 Maret 1949. Juga dari catatan Simatupang dapat dilihat, bahwa di Wiladek mereka juga telah "dipersiapkan" untuk menyiarkan berita mengenai serangan atas Yogyakarta. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa Simatupang juga memberikan teks yang akan dibacakan seperti halnya di Playen, karena dalam catatan hariannya, Simatupang sendiri tidak menyebutkan nama Budiarjo ketika dia menyampaikan teks yang akan dibacakan di Playen. Di sini terlihat jelas, bahwa "Serangan Spektakuler" tersebut adalah suatu skenario -rekayasa- untuk konsumsi dunia internasional.Catatan harian tersebut, yang tertulis dalam buku Laporan dari Banaran, sekaligus juga menunjukkan keterlibatan besar dari Simatupang, yang dalam hirarki militer beberapa tingkat di atas Suharto. Buku Laporan dari Banaran diterbitkan pertama kali tahun 1960, ketika Suharto belum menjadi Presiden, dan episode perjuangan tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak ditulis untuk kepentingan penguasa.
Perencanaan serangan tersebut sangat dirahasiakan, sehingga selain pucuk pimpinan tertinggi militer dan sipil, pada waktu itu hampir tidak ada anggota staf di jajaran bawah, yang mengetahui mengenai rencana tersebut, bahkan staf Gubernur Militer sekalipun. Seorang pelaku sejarah menyampaikan, bahwa dia sebagai anggota staf GM III yang berada di lereng gunung Sumbing, baru mengetahui mengenai serangan tersebut setelah serangan dilancarkan. Begitu juga dengan para pelaksana di lapangan, tidak mengetahui mengenai perencanaan serta Grand Design serangan umum, sebagaimana diungkapkan oleh seorang pelaku di lapangan, Kol. (Purn.) A. Latief (waktu itu komandan kompi, berpangkat Kapten).
Jadi sangat jelas, bahwa setiap komandan hanya mengetahui sebatas tugas yang diberikan kepadanya dan mempunyai wewenang hanya atas pasukannya. Pernyataan Suharto, seperti disampaikan dalam otobiografinya, selain tidak logis dan tampak hanya mengarang cerita belaka, dapat dibantah berdasarkan bukti yang ada.
Kelebihan buku
Buku ini memiliki beberapa kelebihan, di antaranya, ditulis dengan gaya bahasa sederhana sehingga mudah dipahami. Pemaparan fakta sejarahnya didukung oleh sumber lisan dan tulisan yang memadai. Uraiannya telah membuktikan bahwa peristiwa sejarah terjadi karena serangkaian sebab dan akibat. Perlu dibaca oleh para guru sejarah untuk tambahan wawasan dalam menjelaskan peristiwa demi peristiwa kepada siswa agar sebagai generasi muda, mereka benar-benar belajar dari sejarah bangsanya yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran, dan bukan kepada pembenaran." (Dra. Ratna Hapsari, M.Si., Guru Sejarah, Ketua Umum Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI). Dahsyat dan mengharukan, buku ini mampu menggugah kesadaran kolektif kita dan bahkan memompa spirit nasionalisme kita untuk selalu sadar jangan sampai sudah 'merdeka', tetapi tidak berdaya dan terpasung oleh mental inlander yang selalu minder dengan segelintir bangsa-bangsa asing yang masih bermental penjajah dan serakah. Salut dan bangga atas prestasi penulis yang mampu merekam dan memberi makna atas jejak rekam perjalanan bangsa Indonesia menggapai cita-cita Proklamasi 17.8.1945.
Kekurangan buku
mengandung sangat banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi dengan berbagai dokumen otentik yang sangat penting, namun di sisi lain, kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah digariskan oleh penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum adalah Suharto. Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, yaitu Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949, dan yang terpenting adalah Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas tertera Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol Suharto dan Komandan Daerah I Letkol. M. Bachrun. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949 menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap memegang kendali operasi dan selalu melibatkan seluruh potensi yang ada di bawah komandonya. Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan terhadap Yogyakarta tersebut adalah bagian dari operasi Gubernur Militer III, yang juga melibatkan pasukan di bawah komando Gubernur Militer II. Koordinasi pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak mungkin dilakukan oleh seorang komandan Brigade: Serangan yang akan dilaksanakan oleh Wehrkreis III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan operasi untuk mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.
0 Response to "BEDAH BUKU “Serangan Umum 1 Maret 1949 Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”"
Posting Komentar