Demokrasi Terpimpin
Januari 26, 2016
Add Comment
Demokrasi Terpimpin
Di tengah tengah krisis tahun 1957 diambilah langkah langkah pertama menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh Soekarno dinamakan “demokrasi terpimpin”. Ini merupakan suatu sistem yang tidak tetap, yang dilahirkan dari krisis dan terus menerus berubah sepanjang masa yang paling kacau dalam sejarah Indonesia sejak revolusi. Demokrasi terpimpin didominasi oleh kepribadian Soekarno, walaupun prakarsa untuk pelaksanaannya diambil bersama sama oleh pemimpin angakatan bersenjata. Pada waktu itu pengamat menganggap Soekarno sebagai diktator dan ketika sikapnya semakin berapi api beberapa pengamat cenderung menganggapnya hanya sebagai karikatur yang sudah berlalu lanjut usia. Namun, dia tidaklah seperti itu. Soekarno adalah seorang ahli manipulator rakyat dan lambang-lambang. Dia dapat berpidato kepada khalayak ramai atau membuat terpesona musuh musuhnya. Dengan menampilkan dirinya ke depan dalam krisis tahun 1957, maka para pemimpin lainnya bergabung dengannya dalam mempertahankan posisi sentralnya. Akan tetapi, itu semua untuk mendukung suatu keseimbangan politik yang bahkan juga tidak dapat ditegakkan oleh Soekarno, suatu keseimbangan politik yang merupakan kompromi antara kepentingan kepentingan yang tidak dapat ditunjukkan kembali dan oleh karenanya tidak memuaskan semua pihak.
Usaha usaha telah dilakukan oleh para ilmuwan untuk menggambarkan demokrasi terpimpin sebagai suatu sistem pemerintahan, suatu percobaan yang agak mirip dengan melukiskan bentuk amuba. Tampak jelas bahwa pada tahun 1957 partai-partai politik berada pada posisi defensif, tetapi rasa saling permusuhan di antara mereka terlalu berat bagi mereka untuk bekerja sama dalam mempertahankan sistem parlementer. Pada bulan April 1957 Soekarno mengumumkan pembentukan suatu Kabinet Karya di bawah seorang politisi nonpartai, Djuanda Kartawijaya (1911-63), sebagai Perdana Menteri. Djuanda telah duduk dalam hampir setiap kabinet sejaka tahun 1945 dan dihormati sebagai seorang yang cakap dan bijaksana yang mempunyai pengetahuan tentang ekonomi. Meskipun kabinet ini secara teoritis bersifat nonpartai, namun pada hakekatnya kabinet tersebut merupakan suatu koalisi antara PNI dan NU. Tidak ada satu pun anggota PSI atau PKI d dalamnya, tetapi pihak komunis mempunyai beberapa simpatisan. Dua anggota Masyumi menjadi anggota kabinet tetapi partai tersebut mengeluarkan keduannya karena menerima kedudukan itu. Pada bulan Mei 1957 dibentuklah Dewan Nasional yang terdiri atas empat puluh wakil “golongan funksionil” (pemuda, kaum tani, kaum buruh, kaum wanita, para cendikiawan, agama-agama, kelompok daerah daerah, dll), ditambah beberapa anggota ex officio. Kebanyakan partai politik, termasuk PKI, secara tidak langsung diwakili melalui anggota anggota fungsional, tetapi tidak demikian halnya sengan Masyumi dan Partai Katholik.
Dengan terbentuk nya sistem pemerintahan tersebut, maka PKI dan tentara mengambil langkah-langkah untuk memperkuat posisi mereka. Setidak tidaknya pada tahun 1957 (mungkin sudah pada tahun 1958) seorang anggota rahasia PKI mulai menyusup ke tubuh militer melalui kontak-kontak dengan perwira-perwira intelijen yang sudah berusaha menyusup ke dalam tubuh PKI.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pemilu yang pertama diselenggarakan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap tahun 1955, di antaranya adalah untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas merumuskan UUD baru. Namun dalam kenyataannya sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan situasi politik di Indonesia pada saat itu. Bahkan, masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau.
Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bisa membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas karena adanya ketegangan yang diikuti dengan keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai politik yang berada di Konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante. Namun, Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutan konstitusional. Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan Konsepsi Presiden.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut:
Dekrit presiden 5 Juli 1959 tidak saja mendapatkan sambutan baik dari masyarakat yang selama hampir 10 tahun dalam kegoyahan liberal mendambakan stabilitas politik, juga dibenarkan dan diperkuat oleh Mahkamah Agung. Dekrit itu juga di dukung oleh partai - partai politik besar dan oleh KSAD yang merupakan salah seorang konseptornya.
Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bethana selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi, ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang Undang Dasar memungkinkan seorang Presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu banyak lagi tindkaan yang meyimpang dari atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang Undang Dasar.
Sistem Demokrasi Terpimpin
Lima hari setelah Dekrit Presiden, Kabinet Karya dibubarkan dan pada tanggal 09 Juli 1959 digantik dengan Kabinet Kerja. Dalam Kabinet ini Presiden Soekarno bertindak selaku Perdana Menteri, sedangkan Ir. Djuanda menjadi Menteri Pertama dengan dua orang wakilnya Dr. Leimena dan Dr. Subandrio. Program cabinet meliputi penyelenggaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat.
Setelah terbentuknya kabinet pada 22 Juli 1959, Presiden Soekarno membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketahui oleh Presiden dengan Penpres no. 3 tahun 1959 dengan 45 orang anggota yang terdiri dari 12 wakil golongan politik, 8 orang utusan/ wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan 1 orang wakil ketua. Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 19450. Para anggota DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959. Pada upacara peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yamh berjudul “ Penemuan kembali revolusi kita” pidato tesebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban Presiden atas dekrit 5 Juli 1959 serta garis kebijakan Presiden Soekarno dalam mengenalkan sistem demokrasi terpimpin.
Dalam sidangnya pada bulan September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden Soekarno tersebut dijadikan garis- garis besar haluan negara. Usul DPA itu diterima baik oleh Presiden Soekarno. Rumusan DPA atas pidato tersebut menjadi garis- garis besar haluan negara berjudul “Manifesto politik Republik Indonesia” disingkat Manipol. Selanjutnya dengan penetapan Presiden no.2 tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggota- anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Berdasarkan UUD 1945, keanggotaan MPR terdiri atas anggota- anggota DPR ditambah dengan utusan- utusan dari daerah dan wakil- wakil golongan.
Tindakan Presiden Soekarno selanjutnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah mendirikan lembaga- lembaga negara baru, yaitu Front Nasional yang dibentuk melalui penetapan Presiden no. 13 tahun1959. Dalam penetapan itu disebutkan, Front Nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita- cita proklamasi dan cita- cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional itu diketuai oleh Presiden Soekarno.
Dalam regrouping pertama kabinet yang berdasarkan keputusan Presiden no. 94 tahun 1962, dilakukan pengintergrasian lembaga- lembaga tertinggi negara dengan eksekutif, yaitu MPRS, DPR GR, DPA, MA, dan Dewan Perancang Nasional. Pimpinan lembaga- lembaga negara tersebut diangkat menjadi Menteri dan ikut serta dalam sidang- sidang cabinet tertentu, yang selanjutnya ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan pemerintahan dalam lembaga masing- masing.
Selain lembaga- lembaga tersebut, Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan penetapan Presiden no. 4 tahun 1962, MPRS beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR terdiri dari sejumlah Menteri yang mewakili MPRS dan DPR GR, dapertemen, angkatan- angkatan, dan para pemimpin partai politik Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Dalam perkembangan selanjutnya kekuatan politik pada waktu itu terpusat ditangan presiden Soekarno dengan TNI AD dan PKI disampingnya.
Sistem Ekonomi Terpimpin
a. Ekonomi- Keuangan
Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah:
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Bappenas mempunyai tugas menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan rencana tahunan baik nasional maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan. Dalam rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan kebijakan: • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk kepentingan perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian negara. • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank yang dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang terutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat jumlahnya. • Peraturan moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.6/1959, yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran seribu rupiah dan lima ratus rupiah yang masih berlaku ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960.
Untuk menampung akibat-akibat dari tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Tugas pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa mengurangi tanggung jawab menteri, departemen, dan jawatan yang bersangkutan.
Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 tersebut, pemerintah bertujuan akan dapat mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan moneter. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya.
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisanya. Presiden Soekarno menganggap perlu untuk mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral. Untuk itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian diadakan peleburan bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN); Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk Bank Negara Indonesia.
b. Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri
Ekonomi Indonesia bersifat agraris, karena lebih kurang 80% dari penduduk hidup dari berkecimpung dalam bidang pertanian. Sebagian hasil dari pertanian atau perkebunan yang dihasilkan setiap tahunnya dijual dan diekspor ke luar negeri untuk memperoleh devisa atau valuta asing untuk membeli atau mengimpor berbagai bahan baku dan barang konsumsi yang belum dapat dihasilkan di Indonesia. Oleh karena itu, untuk dapat mengimpor kebutuhan- kebutuhan dari luar negeri adalah mutlak, neraca perdagangan kita dengan luar negeri harus menunjukkan terms of trade yang menguntungkan. Apabila itu belum tercapai, terpaksalah dicari bantuan atau disebut juga kredit luar negeri, guna dapat membiayai impor. Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan negara lain misalnya dengan negara Cina.
Dalam rangka usaha untuk membiayai proyek-proyek Presiden/Mandataris MPR-S, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Instruksi Presiden No.018 tahun 1964 dan Keputusan Presiden No.360 tahun 1964, yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan “dana-dana revolusi”. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Deferred payment ialah suatu macam impor yang dibayar dengan kredit (kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak cukup persediaan devisa. Akibat kebijaksanaan kredit luar negeri ini adalah:
Dana revolusi tersebut diberikan dalam bentuk kredit kepada orang lain atau perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana bertambah terus. Namun, pemberian kredit tersebut menyimpang dari pemberian kredit biasa sampai kira-kira mencapai jumlah Rp 338 milyar (uang lama). Hal ini mengakibatkan inflasi meningkat sangat tinggi karena pemerintah sama sekali tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia diizinkan untuk mengadakan penyertaan dalam perusahaan, sehingga membawa akibat yang cukup luas bagi masyarakat, misalnya:
Pembebasan Irian Barat (Jaya)
Ada beberapa bentuk perjuangan dalam rangka pembebasan Irian Barat, yaitu:
a. Perjuangan Diplomasi
Pada bidang ini Indonesia mandahulukan cara damai dalam menyelesaikan persengketaan. Perjuangan tersebut dilakukan dengan perundingan. Jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak kabinet Natsir (1950) yang selanjutnya dijadikan program oleh setiap kabinet. Meskipun selalu mengalami kegagalan sebab Belanda masih menguasai Irian Barat bahkan secara sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda. Perjuangan secara diplomasi ditempuh dengan 2 tahap, yaitu :
• Secara bilateral, melalui perundingan dengan Belanda
Berdasarkan perjanjian KMB masalah Irian Barat akan diselesaikan melalui perundingan, setahun setelah pengakuan kedaulatan. Pihak Indonesia menganggap bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat pada waktu yang telah ditentukan. Sementara Belanda mengartikan perjanjian KMB tersebut bahwa Irian Barat hanya akan dibicarakan sebatas perundingan saja, bukan diserahkan. Berdasarkan alasan tersebut maka Belanda mempunyai alasan untuk tetap menguasai Indonesia. Akhirnya perundingan dengan Belanda inipun mengalami kegagalan.
• Diplomasi dalam forum PBB
Diplomasi dalam forum PBB ini membawa masalah Indonesia-Belanda ke sidang PBB yang dilakukan sejak Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Burhanuddin Harahap, hingga Ali Sastroamijoyo II. Dikarenakan penyelesaian secara diplomatik mengalami kegagalan dan karena adanya pembatalan Uni Indonesia-Belanda secara sepihak maka Indonesia sejak 1954 melibatkan PBB dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Upaya melalui forum PBB pun tidak berhasil karena mereka menganggap masalah Irian Barat merupakan masalah internal antara Indonesia-Belanda. Negara-negara barat masih tetap mendukung posisi Belanda. Indonesia justru mendapat dukungan dari negara-negara peserta KAA di Bandung yang mengakui bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia.
b. Perjuangan Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer
Perjuangan diplomasi baik bilateral maupun dalam forum PBB belum menunjukkan hasil sehingga Indonesia meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi. Konfrontasi dilakukan tetapi tetap saja melanjutkan diplomasi dalam sidang-sidang PBB. Konfrontasi yang ditempuh yaitu konfrontasi politik dan ekonomi, serta konfrontasi militer.
• Konfrontasi Ekonomi
Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut sebagai berikut:
• Konfrontasi Politik
• Konfrontasi Militer
Dampak dari tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat. Diputuskan bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi penengah dalam perselisihan antara Indonesia dan Belanda. Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu :
c. Operasi- Operasi Militer Pembebasan Irian Barat
Pada tanggal 17 Agustus 1960 hubungan diplomatic dengan Belanda diputuskan. Untuk lebih meningkatkan perjuangan, maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional. Adapun Isi dari Trikora tersebut adalah sebagai berikut:
Sesuai dengan perkembangan situasi, Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya sebagai berikut:
Untuk melaksanakan Instruksi itu, Panglima Mandala menyusun strategi yang dikenal dengan “Strategi Panglima Mandala”, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap Infiltrasi / Penyusupan (sampai akhir 1962)
Tahap jalan infiltrasi, yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat.
2. Tahap Eksploitasi (awal 1963)
Mulai Tahap ini dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting
3. Tahap Konsolidasi (awal 1964)
Tahap konsolidasi yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat. Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah dari presiden untuk menghentikan tembak-menembak.
Surat perintah tersebut dikeluarkan setelah ditandatangani persetujuan antara pemerintah RI dengan kerajaan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di New York pada tanggal 15 Agustus 1962 yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian New York. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menlu Subandrio sementara itu Belanda dipimpin oleh Van Royen dan Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi:
Penentuan Pendapat rakyat (Perpera) berarti rakyat diberi kesempatan untuk memilih tetap bergabung dengan Republik Indonesia atau Merdeka. Perpera mulai dilaksankan pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke sampai dengan 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasil Perpera tersebut adalah mayoritas rakyat Irian Barat menyatakan tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil Perpera selanjutnya dibawa oleh Diplomat PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan setiap tahap Perpera) untuk dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24. Tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Perpera tersebut.
Sumber :
Budiardjo, Miriam. 2012. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Khain, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Solo: PUSTAKA SINAR HARAPAN.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
http://yhozhie.blogspot.com/2013/05/perjuangan-pembebasan-irian-barat.html diakses 24 Maret 2014.
http://www.slideshare.net/Murshal_Yunus/demokrasi-terpimpin-34769526
http://pencerahan-sejarah.blogspot.com/2010/11/dekrit-presiden-5-juli-1959.html
Di tengah tengah krisis tahun 1957 diambilah langkah langkah pertama menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh Soekarno dinamakan “demokrasi terpimpin”. Ini merupakan suatu sistem yang tidak tetap, yang dilahirkan dari krisis dan terus menerus berubah sepanjang masa yang paling kacau dalam sejarah Indonesia sejak revolusi. Demokrasi terpimpin didominasi oleh kepribadian Soekarno, walaupun prakarsa untuk pelaksanaannya diambil bersama sama oleh pemimpin angakatan bersenjata. Pada waktu itu pengamat menganggap Soekarno sebagai diktator dan ketika sikapnya semakin berapi api beberapa pengamat cenderung menganggapnya hanya sebagai karikatur yang sudah berlalu lanjut usia. Namun, dia tidaklah seperti itu. Soekarno adalah seorang ahli manipulator rakyat dan lambang-lambang. Dia dapat berpidato kepada khalayak ramai atau membuat terpesona musuh musuhnya. Dengan menampilkan dirinya ke depan dalam krisis tahun 1957, maka para pemimpin lainnya bergabung dengannya dalam mempertahankan posisi sentralnya. Akan tetapi, itu semua untuk mendukung suatu keseimbangan politik yang bahkan juga tidak dapat ditegakkan oleh Soekarno, suatu keseimbangan politik yang merupakan kompromi antara kepentingan kepentingan yang tidak dapat ditunjukkan kembali dan oleh karenanya tidak memuaskan semua pihak.
Usaha usaha telah dilakukan oleh para ilmuwan untuk menggambarkan demokrasi terpimpin sebagai suatu sistem pemerintahan, suatu percobaan yang agak mirip dengan melukiskan bentuk amuba. Tampak jelas bahwa pada tahun 1957 partai-partai politik berada pada posisi defensif, tetapi rasa saling permusuhan di antara mereka terlalu berat bagi mereka untuk bekerja sama dalam mempertahankan sistem parlementer. Pada bulan April 1957 Soekarno mengumumkan pembentukan suatu Kabinet Karya di bawah seorang politisi nonpartai, Djuanda Kartawijaya (1911-63), sebagai Perdana Menteri. Djuanda telah duduk dalam hampir setiap kabinet sejaka tahun 1945 dan dihormati sebagai seorang yang cakap dan bijaksana yang mempunyai pengetahuan tentang ekonomi. Meskipun kabinet ini secara teoritis bersifat nonpartai, namun pada hakekatnya kabinet tersebut merupakan suatu koalisi antara PNI dan NU. Tidak ada satu pun anggota PSI atau PKI d dalamnya, tetapi pihak komunis mempunyai beberapa simpatisan. Dua anggota Masyumi menjadi anggota kabinet tetapi partai tersebut mengeluarkan keduannya karena menerima kedudukan itu. Pada bulan Mei 1957 dibentuklah Dewan Nasional yang terdiri atas empat puluh wakil “golongan funksionil” (pemuda, kaum tani, kaum buruh, kaum wanita, para cendikiawan, agama-agama, kelompok daerah daerah, dll), ditambah beberapa anggota ex officio. Kebanyakan partai politik, termasuk PKI, secara tidak langsung diwakili melalui anggota anggota fungsional, tetapi tidak demikian halnya sengan Masyumi dan Partai Katholik.
Dengan terbentuk nya sistem pemerintahan tersebut, maka PKI dan tentara mengambil langkah-langkah untuk memperkuat posisi mereka. Setidak tidaknya pada tahun 1957 (mungkin sudah pada tahun 1958) seorang anggota rahasia PKI mulai menyusup ke tubuh militer melalui kontak-kontak dengan perwira-perwira intelijen yang sudah berusaha menyusup ke dalam tubuh PKI.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pemilu yang pertama diselenggarakan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap tahun 1955, di antaranya adalah untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas merumuskan UUD baru. Namun dalam kenyataannya sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan situasi politik di Indonesia pada saat itu. Bahkan, masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau.
Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bisa membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas karena adanya ketegangan yang diikuti dengan keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai politik yang berada di Konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante. Namun, Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutan konstitusional. Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan Konsepsi Presiden.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut:
- Pembubaran Konstituante,
- Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950,
- Pembentukkan MPRS dan DPAS.
Dekrit presiden 5 Juli 1959 tidak saja mendapatkan sambutan baik dari masyarakat yang selama hampir 10 tahun dalam kegoyahan liberal mendambakan stabilitas politik, juga dibenarkan dan diperkuat oleh Mahkamah Agung. Dekrit itu juga di dukung oleh partai - partai politik besar dan oleh KSAD yang merupakan salah seorang konseptornya.
Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bethana selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi, ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang Undang Dasar memungkinkan seorang Presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu banyak lagi tindkaan yang meyimpang dari atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang Undang Dasar.
Sistem Demokrasi Terpimpin
Lima hari setelah Dekrit Presiden, Kabinet Karya dibubarkan dan pada tanggal 09 Juli 1959 digantik dengan Kabinet Kerja. Dalam Kabinet ini Presiden Soekarno bertindak selaku Perdana Menteri, sedangkan Ir. Djuanda menjadi Menteri Pertama dengan dua orang wakilnya Dr. Leimena dan Dr. Subandrio. Program cabinet meliputi penyelenggaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat.
Setelah terbentuknya kabinet pada 22 Juli 1959, Presiden Soekarno membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketahui oleh Presiden dengan Penpres no. 3 tahun 1959 dengan 45 orang anggota yang terdiri dari 12 wakil golongan politik, 8 orang utusan/ wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan 1 orang wakil ketua. Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 19450. Para anggota DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959. Pada upacara peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yamh berjudul “ Penemuan kembali revolusi kita” pidato tesebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban Presiden atas dekrit 5 Juli 1959 serta garis kebijakan Presiden Soekarno dalam mengenalkan sistem demokrasi terpimpin.
Dalam sidangnya pada bulan September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden Soekarno tersebut dijadikan garis- garis besar haluan negara. Usul DPA itu diterima baik oleh Presiden Soekarno. Rumusan DPA atas pidato tersebut menjadi garis- garis besar haluan negara berjudul “Manifesto politik Republik Indonesia” disingkat Manipol. Selanjutnya dengan penetapan Presiden no.2 tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggota- anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Berdasarkan UUD 1945, keanggotaan MPR terdiri atas anggota- anggota DPR ditambah dengan utusan- utusan dari daerah dan wakil- wakil golongan.
Tindakan Presiden Soekarno selanjutnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah mendirikan lembaga- lembaga negara baru, yaitu Front Nasional yang dibentuk melalui penetapan Presiden no. 13 tahun1959. Dalam penetapan itu disebutkan, Front Nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita- cita proklamasi dan cita- cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional itu diketuai oleh Presiden Soekarno.
Dalam regrouping pertama kabinet yang berdasarkan keputusan Presiden no. 94 tahun 1962, dilakukan pengintergrasian lembaga- lembaga tertinggi negara dengan eksekutif, yaitu MPRS, DPR GR, DPA, MA, dan Dewan Perancang Nasional. Pimpinan lembaga- lembaga negara tersebut diangkat menjadi Menteri dan ikut serta dalam sidang- sidang cabinet tertentu, yang selanjutnya ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan pemerintahan dalam lembaga masing- masing.
Selain lembaga- lembaga tersebut, Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan penetapan Presiden no. 4 tahun 1962, MPRS beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR terdiri dari sejumlah Menteri yang mewakili MPRS dan DPR GR, dapertemen, angkatan- angkatan, dan para pemimpin partai politik Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Dalam perkembangan selanjutnya kekuatan politik pada waktu itu terpusat ditangan presiden Soekarno dengan TNI AD dan PKI disampingnya.
Sistem Ekonomi Terpimpin
a. Ekonomi- Keuangan
Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah:
- Mempersiapkan rancangan undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana (pasal2).
- Menilai penyelenggara pembangunan itu (pasal 3).
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Bappenas mempunyai tugas menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan rencana tahunan baik nasional maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan. Dalam rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan kebijakan: • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk kepentingan perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian negara. • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank yang dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang terutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat jumlahnya. • Peraturan moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.6/1959, yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran seribu rupiah dan lima ratus rupiah yang masih berlaku ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960.
Untuk menampung akibat-akibat dari tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Tugas pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa mengurangi tanggung jawab menteri, departemen, dan jawatan yang bersangkutan.
Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 tersebut, pemerintah bertujuan akan dapat mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan moneter. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya.
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisanya. Presiden Soekarno menganggap perlu untuk mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral. Untuk itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian diadakan peleburan bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN); Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk Bank Negara Indonesia.
b. Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri
Ekonomi Indonesia bersifat agraris, karena lebih kurang 80% dari penduduk hidup dari berkecimpung dalam bidang pertanian. Sebagian hasil dari pertanian atau perkebunan yang dihasilkan setiap tahunnya dijual dan diekspor ke luar negeri untuk memperoleh devisa atau valuta asing untuk membeli atau mengimpor berbagai bahan baku dan barang konsumsi yang belum dapat dihasilkan di Indonesia. Oleh karena itu, untuk dapat mengimpor kebutuhan- kebutuhan dari luar negeri adalah mutlak, neraca perdagangan kita dengan luar negeri harus menunjukkan terms of trade yang menguntungkan. Apabila itu belum tercapai, terpaksalah dicari bantuan atau disebut juga kredit luar negeri, guna dapat membiayai impor. Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan negara lain misalnya dengan negara Cina.
Dalam rangka usaha untuk membiayai proyek-proyek Presiden/Mandataris MPR-S, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Instruksi Presiden No.018 tahun 1964 dan Keputusan Presiden No.360 tahun 1964, yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan “dana-dana revolusi”. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Deferred payment ialah suatu macam impor yang dibayar dengan kredit (kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak cukup persediaan devisa. Akibat kebijaksanaan kredit luar negeri ini adalah:
- Hutang-hutang negara semakin bertimbun-timbun, sedangkan ekspor semakin menurun dan Devisa menipis karena ekspor menurun sekali.
- Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru atau pembayaran itu ditangguhkan.
- RI tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, karena itu, sering terjadi beberapa negara menyetop impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar.
- Di dalam negeri berakibat mengganggu proses produksi, distribusi dan perdagangan serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.
Dana revolusi tersebut diberikan dalam bentuk kredit kepada orang lain atau perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana bertambah terus. Namun, pemberian kredit tersebut menyimpang dari pemberian kredit biasa sampai kira-kira mencapai jumlah Rp 338 milyar (uang lama). Hal ini mengakibatkan inflasi meningkat sangat tinggi karena pemerintah sama sekali tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia diizinkan untuk mengadakan penyertaan dalam perusahaan, sehingga membawa akibat yang cukup luas bagi masyarakat, misalnya:
- Bank Indonesia sebagai Bank Sentral tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai pengantar peredaran uang.
- Neraca Bank Indonesia tidak dapat diketahui oleh rakyat lagi.
- Neraca Bank Indonesia yang tidak diumumkan itu mendorong usaha-usaha spekulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan. (Poesponegoro, 2008: 429- 436).
Pembebasan Irian Barat (Jaya)
Ada beberapa bentuk perjuangan dalam rangka pembebasan Irian Barat, yaitu:
a. Perjuangan Diplomasi
Pada bidang ini Indonesia mandahulukan cara damai dalam menyelesaikan persengketaan. Perjuangan tersebut dilakukan dengan perundingan. Jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak kabinet Natsir (1950) yang selanjutnya dijadikan program oleh setiap kabinet. Meskipun selalu mengalami kegagalan sebab Belanda masih menguasai Irian Barat bahkan secara sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda. Perjuangan secara diplomasi ditempuh dengan 2 tahap, yaitu :
• Secara bilateral, melalui perundingan dengan Belanda
Berdasarkan perjanjian KMB masalah Irian Barat akan diselesaikan melalui perundingan, setahun setelah pengakuan kedaulatan. Pihak Indonesia menganggap bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat pada waktu yang telah ditentukan. Sementara Belanda mengartikan perjanjian KMB tersebut bahwa Irian Barat hanya akan dibicarakan sebatas perundingan saja, bukan diserahkan. Berdasarkan alasan tersebut maka Belanda mempunyai alasan untuk tetap menguasai Indonesia. Akhirnya perundingan dengan Belanda inipun mengalami kegagalan.
• Diplomasi dalam forum PBB
Diplomasi dalam forum PBB ini membawa masalah Indonesia-Belanda ke sidang PBB yang dilakukan sejak Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Burhanuddin Harahap, hingga Ali Sastroamijoyo II. Dikarenakan penyelesaian secara diplomatik mengalami kegagalan dan karena adanya pembatalan Uni Indonesia-Belanda secara sepihak maka Indonesia sejak 1954 melibatkan PBB dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Upaya melalui forum PBB pun tidak berhasil karena mereka menganggap masalah Irian Barat merupakan masalah internal antara Indonesia-Belanda. Negara-negara barat masih tetap mendukung posisi Belanda. Indonesia justru mendapat dukungan dari negara-negara peserta KAA di Bandung yang mengakui bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia.
b. Perjuangan Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer
Perjuangan diplomasi baik bilateral maupun dalam forum PBB belum menunjukkan hasil sehingga Indonesia meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi. Konfrontasi dilakukan tetapi tetap saja melanjutkan diplomasi dalam sidang-sidang PBB. Konfrontasi yang ditempuh yaitu konfrontasi politik dan ekonomi, serta konfrontasi militer.
• Konfrontasi Ekonomi
Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut sebagai berikut:
- Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan pembatalan utang-utang RI kepada Belanda.
- Selama tahun 1957 melakukan Pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda, melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda, dan melarang penerbangan kapal-kapal Belanda
- Selama tahun 1958-1959 melakukan Nasionalisasi terhadap ± 700 perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia
• Konfrontasi Politik
- Tahun 1951, Kabinet Sukiman menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan Belanda merupakan hubungan bilateral biasa
- Tanggal 3 Mei 1956, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II, diumumkan pembatalan semua hasil KMB
- Pada tanggal 17 Agustus 1956 dibentuk provinsi Irian Barat dengan ibukotanya kotanya di Soa Siu (Tidore) dan Zaenal Abidin Syah (Sultan Tidore) sebagai gubernurnya yang dilantik tanggal 23 September 1956. Provinsi Irian Barat meliputi : Irian, Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile
- Pada tanggal 18 November 1957 terjadi Rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta
- Tahun 1958, Pemerintah RI menghentikan kegiatan-kegiatan konsuler Belanda di Indonesia. Pemecatan semua pekerja warga Belanda di Indonesia
- Tanggal 8 Februari 1958, dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat
- Tanggal 17 Agustus 1960 diumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda
• Konfrontasi Militer
Dampak dari tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat. Diputuskan bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi penengah dalam perselisihan antara Indonesia dan Belanda. Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu :
- Pemerintah Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia
- Setelah sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau memisahkan diri
- Pelaksanaan penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek. Tetapi pihak Belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk menyerahkan Irian Barat di bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk negara Papua dalam jangka waktu 16 tahun. Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda tersebut tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua, lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan. Tindakan Belanda tersebut tidak melemahkan semangat bangsa Indonesia. Indonesia menganggap bahwa sudah saatnya menempuh jalan kekuatan fisik (militer).
c. Operasi- Operasi Militer Pembebasan Irian Barat
Pada tanggal 17 Agustus 1960 hubungan diplomatic dengan Belanda diputuskan. Untuk lebih meningkatkan perjuangan, maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional. Adapun Isi dari Trikora tersebut adalah sebagai berikut:
- Gagalkan Pembentukan Negara boneka papua buuatan Belanda
- Kibarkan Sang merah Putih di Irian Barat, Tanah air Indonesia
- Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa
Sesuai dengan perkembangan situasi, Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya sebagai berikut:
- Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Negara RI
- Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan perjuangan di bidang diplomasi dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah daerah Republik Indonesia
Untuk melaksanakan Instruksi itu, Panglima Mandala menyusun strategi yang dikenal dengan “Strategi Panglima Mandala”, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap Infiltrasi / Penyusupan (sampai akhir 1962)
Tahap jalan infiltrasi, yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat.
2. Tahap Eksploitasi (awal 1963)
Mulai Tahap ini dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting
3. Tahap Konsolidasi (awal 1964)
Tahap konsolidasi yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat. Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah dari presiden untuk menghentikan tembak-menembak.
Surat perintah tersebut dikeluarkan setelah ditandatangani persetujuan antara pemerintah RI dengan kerajaan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di New York pada tanggal 15 Agustus 1962 yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian New York. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menlu Subandrio sementara itu Belanda dipimpin oleh Van Royen dan Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi:
- Kekuasaan pemerintah di Irian Barat untuk sementara waktu diserahkan pada UNTEA(United Nations Temporary Executive Authority)
- Akan diadakan PERPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat sebelum tahun 1969
- Untuk menjamin Keamanan di Irian Barat dibentuklah pasukan penjaga perdamaian PBB yang disebut UNSF (United Nations Security Force) yang dipimpin oleh Brigadir Jendral Said Udin Khan dari Pakistan. Berdasarkan Perjanjian New York proses untuk pengembalian Irian Barat ditempuh melalui beberapa tahap, yaitu :
- Antara 1 Oktober -31 Desember 1962 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama Kerajaan Belanda
- Antara 1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama
- Sejak 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan RI
- Tahun 1969 akan diadakan act of free choice, yaitu penentuan pendapat rakyat
Penentuan Pendapat rakyat (Perpera) berarti rakyat diberi kesempatan untuk memilih tetap bergabung dengan Republik Indonesia atau Merdeka. Perpera mulai dilaksankan pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke sampai dengan 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasil Perpera tersebut adalah mayoritas rakyat Irian Barat menyatakan tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil Perpera selanjutnya dibawa oleh Diplomat PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan setiap tahap Perpera) untuk dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24. Tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Perpera tersebut.
Sumber :
Budiardjo, Miriam. 2012. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Khain, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Solo: PUSTAKA SINAR HARAPAN.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
http://yhozhie.blogspot.com/2013/05/perjuangan-pembebasan-irian-barat.html diakses 24 Maret 2014.
http://www.slideshare.net/Murshal_Yunus/demokrasi-terpimpin-34769526
http://pencerahan-sejarah.blogspot.com/2010/11/dekrit-presiden-5-juli-1959.html
0 Response to "Demokrasi Terpimpin"
Posting Komentar