-->

Sejarah Stasiun Kereta Api di Semarang

A. Kronologi Adanya Stasiun
Pada tahun 1789 terjadi Revolusi Perancis yang memunculkan tokoh Napoleon Bonaparte dari Corsica yang berhasil mengambil alih kekuasaan (Marx.K dan F. Engels, 1951, Selected Works, Edisi Bahasa Inggris, Moskow). Setelah berhasil menguasai Perancis, ia melebarkan sayapnya dengan menaklukan negara-negara tetangganya di Eropa (Tim Telaga Bakti Nusantara : 1997). Belanda jatuh ke tangan Perancis dan Belanda beserta tanah jajahannya berada dalam imperium Perancis. Kerajaan Inggris merupakan musuh utama Perancis karena satu-satunya lawan yang tidak dapat ditaklukan. Sikap permusuhan ini dibawa sampai tanah jajahan. Hindia Belanda yang berada dalam imperium Perancis juga mendapat pengaruh oleh adanya sikap permusuhan diantara mereka. Oleh karena itu, pimpinan Kerajaan Belanda yang merupakan saudara Napoleon yaitu Luis Napoleon memerintahkan Daendels sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda untuk mempertahankan Hindia Belanda.

Gubernur Jendral Daendels tiba di Indonesia tahun 1808. Dia melihat bahwa Jawa terancam jatuh ke tangan Inggris. Oleh karena itu, Daendels membangun jaringan jalan raya dan pelabuhan-pelabuhan untuk pangkalan laut. Pembangunan ini dilakukan dengan mengerahkan tenaga rodi atau kerja paksa yang mengakibatkan penderitaan dan kematian. Sebagian orang Belanda tidak menyukai perilaku Daendels tersebut dan mereka melaporkannya kepada Luis Napoleon. Daendels akhirnya digantikan oleh Jansen. Pertahanan Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jendral Jansen diserbu oleh pasukan Inggris dibawah pimpinan Lord Minto. Jansen menyerah kepada Inggris di Tuntang, dekat Salatiga pada 1811. Wilayah Jawa kemudian dipimpin oleh Letnan Gubernur Jendral Thomas Stanford Raffles sebagai wakil dari pemerintahan Kerajaan Inggris.

Perubahan besar yang terjadi di Eropa mengakibatkan tentara Perancis kalah dalam pertempuran di Waterloo dan Napoleon Bonaparte ditawan di Inggris. Tahun 1814 diadakan perjanjia di Wina yang menghasilkan keputusan agar semua wilayah bekas jajahan Belanda yang jatuh ke Inggris dikembalikan kepada Belanda. Sesampainya di Indonesia untuk menguasai kembali, Belanda dihadapkan oleh pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan pribumi. Selain itu, Belanda juga harus mengatasi pemberontakan dalam negeri yang dilakukan oleh orang Belgia. Pemberontakan-pemberontakan tersebut dapat diatasi dengan biaya yang tidak sedikit dan mengakibatkan Belanda mengalami kesulitan keuangan. Kesulitan uang ini diatasi dengan diangkatnya J. C. van den Bosch sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda pada 1828 oleh Raja Belanda Wilhelm I.

J.C. van den Bosch sampai di Indonesia tahun 1830 dan segera melaksanakan rencana yang telah disiapkannya, yaitu Cultuur Stelsel atau Sistem Tanam Paksa. Pelaksanan Tanam Paksa sangat menguntungkan pemerintah Belanda terutama di Pulau Jawa, hal ini dikarenakan pulau Jawa dianggap dapat mengisi kekosongan kas negara melalui tanam paksa tersebut. Pulau Jawa mempunyai tanah yang subur dan banyak rakyat yang tinggal disana yang bisa dijadikan tenaga kerja. Dampak dari hal tersebut munculnya pengusaha yang menanamkan modalnya di Indonesia. Mereka membuka perkebunan, pabrik pengolahan hasil perkebunan, perdagangan, dan pertambangan. Pemerintah juga memberi dukungan kepada para pengusaha seperti pembuatan bendungan, saluran irigasi, jembatan, pencetakan sawah dan kebun. Keuntungan dan keberhasilan pemerintah dan pengusaha Belanda tidak dicapai dengan mudah. Salah satu masalah yang dihadapi adalah trasnportasi.

Pada awalnya, pengangkutan hasil produksi dengan alat transportasi tradisional. Ada yang dipikul, diangkut dengan kereta hewan, dan dengan perahu. Hal ini membutuhkan waktu sangat lama yang mengakibatkan turunnya kualitas barang. Hal ini tentunya sangat merugikan mereka. Mereka terus berusaha untuk mengatasi hal tersebut dengan mendatangkan unta dan keledai ke Pulau Jawa, tetapi masalah tersebut tetap belum teratasi. Langkah lainnnya adalah dengan menggunakan kereta api. Permohonan konsesi pembangunan stasiun dan rangkaian rel kereta api harus sepengetahuan dan seizin dari Gubernur Jendral Hindia Belanda.

Pada mulanya, permohonan konsesi pembangunan stasiun dan rel kereta api NISM (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij) diajukan oleh W. Poolman, A. Fraser, dan E.H. Kol. Mereka mengajukan permohonan pembanguann stasiun dan rel kereta api dari Semarang-Surakarta-Yogyakarta. Hal ini dikarenakan Surakarta dan Yogyakarta waktu itu disebut Vorstenlanden, yaitu daerah yang dikuasai raja-raja (Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta). (Renungan 143 Tahun Terbangunnya Jalur Kereta Api Indonesia 2008:4) Mereka berani mengajukan permohonan itu atas dasar pertimbangan bahwa wilayah yang dilalui oleh jalan rel itu merupakan daerah penghasil barang ekspor yang kaya, seperti kayu, temabakau, dan gula. Barang-barang ekspor itu perlu diangkut ke pelabuhan di Semarang. Permohonan konsesi pembangunan stasiun dan rel kereta api dikabulkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda melalui surat keputusan Gubernur Jendral No. 1 tanggal 28 Agustus 1862. Stasiun pertama di Indonesia adalah Stasiun Samarang NIS.

B. Sejarah Stasiun Kereta Api di Semarang
Pengangkutan barang hasil produksi dari daerah menuju pelabuhan di Semarang sangat berimbas pada kehidupan perkereta apian di Semarang. Banyak stasiun yang dibangun, baik sebagai tempat pemberhentian, pengangkutan dan penumpang atau barang, maupun hanya sebagai halte. Stasiun-stasiun tersebut adalah Stasiun Samarang NIS yang dibangun tahun 1864, Stasiun Tuntang yang dibangun tahun 1873, Stasiun Jurnatan yang dibangun tahun 1882, Stasiun Pendrikan yang dibangun tahun 1897, Stasiun Tawang yang dibangun tahun 1911 dan Stasiun Poncol yang dibangun tahun 1914 serta Stasiun Alastuwo. Diantara stasiun-stasiun diatas, stasiun yang cukup bersejarah dan besar adalah Stasiun Samarang NIS, Stasiun Tawang, dan Stasiun Poncol.

Stasiun Samarang NIS merupakan stasiun pertama di Semarang dan juga stasiun pertama di Indonesia yang terletak di Tambaksari (Kemijen) Semarang. Stasiun ini dinamakan Stasiun Samarang karena Belanda menyebut kata “Semarang” dengan kata “Samarang”. Stasiun ini terletak di dekat pelabuhan dan merupakan stasiun ujung atau dalam bahasa Belanda disebut kopstation. Stasiun Samarang NIS merupakan stasiun pertama milik Nederlandsche-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Pencangkulan tanah pertama pemasangan jalan relnya dilakukan oleh Mr. Baron Sloet van de Beele. Dia adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda Pencangkulan tanah pertama merupakan acara puncak dari upacara dimulainya pekerjaan pemasangan jalan rel. Upacara ini dilakukan pada hari Jumat tanggal 7 Juni 1864 di Desa Kemijen (Tim Telaga Bakti Nusantara : 1997).

Kereta api reguler pertama diberangkatkan di Indonesia adalah melalui Stasiun Samarang NIS ini. Kereta ini menempuh jarak 18 pal (1 pal = 1,5 KM) atau sekitar 25 KM dari Semarang menuju Stasiun Tanggung di daerah Grobogan. Kereta api reguler pertama merupakan kereta api campuran (gemengde trein). Kereta api campuran adalah kereta yang mengangkut penumpang dan barang. Rangkaian kereta api ini ditarik oleh lokomotif uap B1 buatan Beyer Peacock & Co, Manchester, UK. Rangkaian ini terdiri dari kereta kelas1-2, kelas 3 dan gerbong barang (Renungan 143 Tahun Terbangunnya Jalur Kereta Api Indonesia, 2006:5). Kereta api regular pertama diberangkatkan pada 10 Agustus 1867 dan sekaligus sebagai peresmian Stasiun Samarang NIS. Peristiwa ini merupakan suatu peristiwa yang sangat penting. Namun hal yang berbeda diberitakan Harian De Locomotief yang dikutip dalam buku Renungan 143 Tahun Terbangunnya Jalur Kereta Api Indonesia. Harian De Locomotief mengungkapkan bahwa peristiwa itu nyaris tidak mendapat perhatian. Sedikit sekali orang-orang penting hadir, bahkan pemegang saham NV Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij nyaris tidak ada yang tampak. Hal ini dikarenakan oleh hilangnya antusiasme masyarakat pada kereta api. Hambatan teknis, alam, keuangan, tenaga kerja, dan biaya mengakibatkan pembangunan jalan rel yang hendak menghubungkan Semarang dengan Yogkarta dan Solo mengalami kegagalan. Jalur rel tersebut baru terbangun sampai Tanggung, sehingga masyarakat meragukan keberhasilan dan masa depan proyek pembangunan jalan kereta api ini.

Wilayah Semarang sejak separuh akhir abad ke-19 sudah menjadi basis perkembangan perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Bisnis angkutan barang dari hasil panen perkebunan telah memberi keuntungan besar bagi NISM. Persoalan banjir juga sudah sering menjadi areal Stasiun Samarang sejak abad ke-20. Untuk mengatasi hal itu, direksi sepakat memindahkan kantor pusat di stasiun dan memisahkan pelayanan penumpang dan barang melalui dua stasiun. Stasiun Samarang digunakan untuk melayani barang, dan untuk melayani penumpang maka dibangunlah Stasiun Tawang. Stasiun Tawang dirancang oleh arsitek Belanda yang bernama Sloth Blauwber. Oleh karena itu, gaya arsitektur pada stasiun ini sangat dipengaruhi gaya Belanda. Bentuk kubah dan jendela-jendelanya sangat mencirikan bangunan-bangunan Belanda. Upacara peletakan batu pertama pembangunan stasiun ini dilaksanakan pada tanggal 29 April 1911 dan stasiun ini diresmikan tiga tahun setelah pembangunannya, tepatnya tanggal 1 Juni 1914.

Bangunan pada Stasiun Tawang membentuk siluet simetris dengan bangunan utama di tengah. Bangunan utama yang terletak di tengah mempunyai atap berbentuk kubah tinggi sebagai vocal point dan membuat bangunan ini menjadi megah. Pada kanan kirinya terdapat sayap-sayap bangunan yang didominasi oleh atap pelana dari genteng merah dengan bukaan-bukaan atap sebagai variasi. Bentuk bangunan yang simetris itu merupakan salah satu ciri arsitektur colonial. Bangunan seperti itu merupakan perpaduan antara langgam desain yang populer di Eropa dengan penyesuaian terhadap iklim local yang tropis. Penyesuaian iklim lokal yang tropis ditandai dengan adanya penggunaan atap pelana serta banyak bukaan untuk pengaturan suhu.

Ruang-ruang pada bangunan Stasiun Tawang disusun secara linier dengan pintu masuk utama yang berada di tengah sebagai orientasi. Ruang di bawah kubah merupakan vestibule atau hall dengan langit-langit yang tinggi. Atap kubah membentuk langit-langit persegi yang memberikan pencahayaan atas, dan ini memperkuat kesan megah ruangan ini. Empat kolom utama yang menyangga atap kubah apabila dilihat secara sepintas akan mempunyai kemiripan dengan bagian tengah sebuah pendapa joglo. Bagian ini diperindah dengan empat lampu hias serta jendela kaca memanjang di sekeliling bangunan bagian atas.

Arsitektur bangunan Stasiun Tawang tidak mempunyai banyak ornament. Hal ini dikarenakan gaya arsitektur Romaticism lebih menekankan pada komposisi dan proporsi elemen-elemen garis dan bidang-bidang bukaan. Ornamen yang paling menonjol pada bangunan Stasiun Tawang adalah pintu-pintu utama serta jendela ventilasi atas. Pintu-pintu utama serta jendela ventilasi atas berbentuk lengkung yang dipertegas dengan bingkai konstruksi Arch dengan pasangan batu bata di tepi atasnya. Pada ujung lengkungan bata tersebut diakhiri dengan moulding dari semen dan keramik warna. Material yang berbeda dari elemen - elemen bukaan (pintu, jendela, dan ventilasi) tersebut menjadikan ornament semakin beragam dan mempercantik arsitektur Stasiun Tawang. Sayap bagian kanan pada Stasiun Tawang merupakan ruang tunggu kelas satu, ruang kepala stasiun, ruang sinyal serta ruang-ruang operasional. Sayap kiri merupakan ruang tunggu kelas dua dan kelas tiga. Pada masa kolonial, kelas dua dan kelas tiga diperuntukkan bagi pribumi. Ruang-ruang tersebut berderet di sepanjang peron, dan membentuk model stasiun satu sisi dengan peron dan sepur yang terletak sejajar dengan bangunan stasiun. Peron dan sepur dinaungi atap pelana yang memanjang sejajar dengan struktur rangka baja dan penutup seng gelombang. Bangunan stasiun ini didominasi warna putih yang menutupi hampir semua tembok bagian dalam. Warna cokelat tembaga hanya digunakan sebagai penghiasnya. Pada waktu didirikan, Material dasar bangunan stasiun ini berasal dari batu yang dilapisi semen tumbukan bata merah dan kapur. Cat yang digunakan hanya berasal dari kapur. Stasiun ini berjarak kurang lebih satu kilometer dari Stasiun Samarang dan terletak tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Emas. Hal ini mengakibatkan stasiun ini sering dilanda banjir rob. Selain banjir, sampah juga merupakan masalah yang serius bagi stasiun ini dan mengakibatkan terganggunya perjalanan kereta jalur utara Jawa. Peninggian dilakukan beberapa kali untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut. Peninggian dilakukan dengan cara pengurukan menggunakan tanah pada lantai bangunan dan jalur rel. Hal ini membuat ketinggian bangunan menjadi berkurang.

Stasiun Poncol terletak di Kelurahan Purwosari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Oleh karena berada di pinggir barat kota Semarang, maka stasiun ini juga disebut Semarang–West. Meski berada pada ujung jalur Semarang – Cirebon, stasiun Semarang West berbentuk stasiun paralel. Sejak semula, stasiun ini memang direncanakan akan dihubungkan dengan stasiun yang baru di Tawang sebagai stasiun utama Semarang. Stasiun ini dibangun pada tahun 1914 dan dirancang oleh arsitektur Belanda yang bernama Henry Maclaine Pont. Dia adalah seorang arsitek yang banyak berkiprah pada dunia arsitektur Indonesia. Selain kental dengan gaya Eropa, Henry Maclaine Pont juga menambahkan gaya arsitektur nusantara. Hal ini membuat stasiun mempunyai arti penting bagi bangunan stasiun.

Bangunan stasiun ini sangat unik dan bergaya modern. Bagian tengah bangunan itu, yang sekaligus merupakan pintu masuk utama dihiasi dengan ubin berwarna hitam dan abu-abu. Pada panel di kiri dan kanan bangun terdapat tulisan SCS dan angka tahun 1914 terbuat dari ubin hitam dan keemasan. Pada zaman dahulu stasiun ini merupakan stasiun yang dimiliki oleh SCS (Semarang-Cheribon Stroomtram Maatschappij). SCS adalah sebuah perusahaan maskapai kereta api swasta yang dimiliki oleh pengusaha-pengusaha Belanda. Stasiun ini melayani perjalanan dari Semarang ke Cirebon dan sebaliknya sesuai dengan perusahaan yang menanganinya.

C. Keadaan Stasiun Kereta Api di Semarang dari masa Kolonial sampai masa Republik
Stasiun Samarang NIS melayani perjalanan penumpang dan barang dari Semarang ke Stasiun Tanggung dan sebaliknya. Perjalanan kereta ini melewati Stasiun Alastuwa dan Stasiun Brumbung untuk kemudian berakhir di Stasiun Tanggung yang terletak di daerah Grobogan. Sejak zaman dahulu, Grobogan merupakan daerah penghasil kebutuhan pokok karena daerah ini adalah daerah persawahan. Barang-barang kebutuhan pokok yang banyak dihasilkan di daerah Grobogan diangkut menuju Stasiun Samarang NIS. Seperti yang dikatakan oleh Pak Ramlan (86 th.), barang-barang pokok yang diangkut ke pelabuhan dari stasiun adalah beras, jagung, gaplek, dan gula. Setelah sampai di Stasiun Samarang NIS, barang-barang tersebut kemudian diangkut menuju pelabuhan.

Stasiun Samarang NIS mempunyai peran penting dalam sektor ekonomi. Hal ini dikarenakan letaknya yang dekat dengan pelabuhan. Melalui pelabuhan inilah, barang-barang dari daerah penghasil dibawa ke Jakarta dan luar negeri untuk kemudian dipasarkan oleh Belanda. Perdagangan tersebut telah menutup kekosongan kas Belanda. Lokasi yang dekat dengan pelabuhan juga membuat stasiun ini sering tergenang oleh banjir rob. Hal inilah yang membuat pelayanan penumpang di stasiun ini kemudian dipindahkan ke Stasiun Tawang. Stasiun ini akhirnya hanya melayani kereta barang dan kemudian hanya digunakan sebagai gudang. Oleh karena itu, stasiun ini dikenal sebagai Stasiun Samarang Gudang.

Pada saat ini, Stasiun Samarang Gudang sudah tidak ada. Namun terdapat peninggalan yang dapat membuktikan bahwa stasiun ini pernah ada. Bagian gudang dari stasiun ini masih ada, tetapi sudah tidak terawat lagi karena sering terendam banjir rob. Tanah-tanah yang dulu digunakan sebagai bangunan sampai sekarang masih menjadi milik PT KAI. Loket karcis juga hanya tinggal bangunan. Jaringan rel juga masih terlihat begitu jelas di Jalan Ronggowarsito. Selain itu, di jalan ini juga terdapat plang yang menunjukan bahwa di situ pernah ada aktivitas perkereta-apian. Kampung di pinggiran Jalan Ronggowarsito juga dinamakan spoorland. Hal ini menunjukan bahwa di kampung daerah ini pada zaman dahulu merupakan kawasan perkereta-apian.

Stasiun Tawang dibangun untuk mengatasi banjir dan semakin meningkatnya pertumbuhan di Semarang. Stasiun ini dirancang sebagai tempat pemberhentian kereta api jurusan Solo dan Yogyakarta. Pada tahun 1924, stasiun ini dikembangkan lagi untuk melayani pemberhentian kereta api jurusan Surabaya yang melalui Brumbung, Gambringan, dan Cepu. Oleh karena itu, dibangunlah peron baru di sebelah utara. Pada saat ini, Stasiun Tawang melayani perjalanan kereta api bisnis. Perjalanan yang dilayani menuju barat dan timur. Arah barat menuju Jakarta, sedangkan arah timur menuju Surabaya.

Stasiun yang melayani penumpang selain Stasiun Tawang adalah Stasiun Poncol. Hal yang membedakan stasiun ini dengan Stasiun Tawang adalah tentang kelas kereta api. Kereta api di Stasiun Poncol adalah kereta api ekonomi. Muka depan bangunan telah berubah dari bangunan awalnya. Tulisan SCS dan tahun 1914 juga telah tiada. Hal ini tentunya megurangi nilai sejarah pada stasiun ini. Pada saat ini, Stasiun Poncol menjadi tempat pemberhentian kereta api Argo Muria dan Argo Sindoro dari Stasiun Gambir.

Pada awal beroperasinya, tidak ada jalur kereta api yang menghubungkan antara Stasiun Semarang Tawang dan Semarang Poncol. Dua-duanya merupakan stasiun ujung atau kopstation. Stasiun Semarang Poncol melayani kereta api dari atau menuju barat (Cirebon) dan Stasiun Semarang Tawang melayani kereta api dari atau ke selatan (Solo dan Yogyakarta). Hal ini dikarenakan kedua stasiun tersebut dimiliki oleh dua perusahaan kereta api yang berbeda yaitu NIS dan SCS. Stasiun ini kini menjadi tempat berhentinya kereta api kelas ekonomi. Bangunan stasiun ini dirancang oleh arsitek Henri Maclaine Pont, seorang arsitek Belanda. Akibat jaringan kereta api yang terpisah, masing-masing perusahaan itu mempunyai stasiun yang terpisah pula. Keadaan ini cukup merepotkan, tidak hanya bagi penumpang, tetapi juga untuk angkutan barang. Kedua stasiun ini baru dihubungkan dengan jalur kereta api sekitar tahun 1942-1943 oleh pemerintahan Jepang ketika awal pemerintah Jepang masuk ke Indonesia.

D. Pengaruh Stasiun Kereta Api di Semarang terhadap kehidupan masyarakat di Semarang.
Stasiun merupakan tempat keramaian yang didalamnya terdapat berbagai unsur masyarakat. Oleh karena itu, adanya stasiun juga mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang. Bidang ekonomi merupakan bidang yang paling jelas terlihat. Banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada stasiun. Ada masyarakat yang menjadi pedagang, tukang parkir, petugas kargo, satpam, dan lain sebagainya. Melalui stasiun, mereka dapat menghidupi dirinya sendiri, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya. Bidang ekonomi juga mempengaruhi bidang sosial masyarakat. Perbedaan bidang pekerjaan yang didapat masyarakat di stasiun mengakibatkan gaji yang diterima juga berbeda. Hal ini membuat status sosial pekerja tersebut di masyarakat juga berbeda. Ada yang digolongkan mampu, tidak mampu, kaya, ataupun miskin.

Stasiun juga berpengaruh pada bidang lainnya. Pengaruh tersebut adalah terhadap keamanan lingkungan. Hal ini dikarenakan di stasiun terdapat banyak orang. Banyaknya orang menimbulkan banyaknya potensi kejahatan yang terjadi. Contoh kejahatan yang banyak terjadi adalah pencopetan, penjambretan, penipuan, dan perampokan. Dibangunnya stasiun juga mengakibatkan masyarakat harus berpindah dari tanah yang ditempati sebelumnya. Mereka tergusur oleh adanya pembangunan stasiun ini dan sangat merugikan masyarakat.

Sumber :
Djawahir, Muhammad. Semarang Sepanjang Kenangan. Semarang: PemdaDati II Semarang, Dewan Kesenian Jawa Tengah, AktorStudi Semarang, 1995
Sadono, Bambang. Semarang Kota Tercinta. Semarang: Citra Almamater, 1992.
Tio, Jongkie. Semarang DalamKenangan. Semarang: J.Tio, 2008. vDaop 4 Semarang. Renungan 143 Tahun Terbangunnya Jalur Kereta Api Indonesia:, 2006.

0 Response to "Sejarah Stasiun Kereta Api di Semarang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel