Orde Baru (Kepemimpinan Soeharto)
Januari 20, 2016
Add Comment
Masa Orde Baru merupakan istilah yang digunakan untuk masa setelah pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Pada masa Orde Baru dibangun tekad untuk mengabdi pada kepentingan rakyat dan nasional dengan dilandasi oleh semangat dan jiwa Pancasila serta UUD 1945. Orde Baru merupakan upaya untuk mengoreksi penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama. Masa Orde Baru ini dipimpin oleh Soeharto setelah dikeluarkannya Suoersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) oleh Presiden Soekarno. Yang mana pada waktu itu Soeharto diberikan amanat untuk menjaga stabilitas negara dan bertanggung jawan terhadap Presiden Soekarno, dan setelah itu harus mengembalikan surat tersebut kepada Presiden Soekarno karena telah melaksanakan tugasnya. Namun Soeharto tidak mengembalikan Supersemar melainkan menjadikan TAP MPRS yang mana pada saat itu Soeharto tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden Soekarno melainkan bertanggung jawab terhadap MPR hingga diangkatnya ia menjadi Presiden pada tahun 1966. Dalam Supersemar terdapat 3 point tugas utama yang harus dijalankan oleh Soeharto.
Isinya adalah :
Surat ini diterbitkan oleh Presiden Soekarno untuk mengembalikan keamanan dan keamanan dan ketertiban. Demonstrasi dan kekacauan di ibukota tak berubah, meski Soekarno telah melantik kabinet Dwikora yang Disempurnakan atau lebih dikenal dengan sebutan “Kabinet 100 menteri” pada tanggal 11 Maret 1967. Dalam rapat kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soekarno pada tanggal tersebut, Letjend Soeharto tidak hadir dengan alasan sakit. Akhirnya, Presiden Soekarno tidak dapat menyelesaikan rapat dan pergi ke Bogor demi alasan keamanan. Pengantian pemerintahan Orde Baru secara resmi ketika Letjend Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia pada tanggal 12 Maret 1967.
Dan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia mengalami peningkatan hasil panen beras yang cukup signifikan. Karena, pada masa itu swasembada pangan cukup baik hingga masyarakat Indonesia merasa kalau kebutuhan beras cukup banyak, hingga ada beras yang diekspor ke Afrika untuk membantu yang sedang kelaparan. Pada masa Orde Baru Presiden Soeharto juga menerapkan rasa nasionalisme yang harus dimiliki oleh masing-masing bangsa Indonesia. Presiden Soeharto juga mengajarkan kalau kita harus menghargai hasil dalam negeri, karena dengan seperti itu kita akan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Namun pada masa Orde baru Presiden Soeharto memasukkan Militer dalam pemerintahan Indonesia untuk ikut berkecimpung dalam dunia Politik Konsep yang diambil dari tema “Orde Baru (kepemimpinan Soeharto)
Dengan seperti itu maka rasa Nasionalisme yang tumbuh pada diri seorang militer akan sangat tinggi, maka mereka akan semangat juga untuk melakukan tugasnya mengabdi terhadap bangsa dan negara demi tugas yang mulia yang di emban mereka. Pada sesungguhnya tugas Militer adalah melindungi negara dari bahaya yang mengancam, untuk itu para anggota militer harus siap untuk ditugaskan dimana saja, termasuk didaerah perbatasan yang sangat rawan dengan konflik antar negara. Bahkan militer juga harus siap untuk ditugaskan didaerah yang berkonflik. Hal itu tujuannya adalah utnuk melindungi negara, dan militer sangat baik dalam menjalankan tugas tersebut. karena bagi dia, pengabdian terhadap bangsa dan Negara sangatlah penting bagi mereka dengan seperti itu, maka merek bisa untuk meneruskan jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia. Keadaan militer yang baik harus didukung oleh pemerintah yang peduli juga terhadap militer, walaupun sebenarnya juga sudah mengabdi terhadap nusa dan bangsa, namun alangkah baiknya jika hal itu juga didukung oleh pmerintah agar semangat perjuangan mengabdi mereka juga semakin baik.
Tumbunya nasionalisme di Indonesia
Karena adanya faktor pendukung diatas maka di Indonesiapun mulai muncul semangat nasionalisme. Semangat nasionalisme ini digunakan sebagai ideologi/paham bagi organisasi pergerakan nasional yang ada. Ideologi Nasional di Indonesia diperkenalkan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. PNI bertujuan untuk memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia yang bebas dari penjajahan. Sedangkan cita-citanya adalah mencapai Indonesia merdeka dan berdaulat, serta mengusir penjajahan pemerintahan Belanda di Indonesia. Dengan Nasionalisme dijadikan sebagai ideologi maka akan menunjukkan bahwa suatu bangsa memiliki kesamaan budaya, bahasa, wilayah serta tujuan dan cita-cita. Sehingga akan merasakan adanya sebuah kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok bangsa tersebut.
Perkembangan Nasionalisme di Indonesia
Sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme di Indonesia diawali dengan pembentukan identitas nasional yaitu dengan adanya penggunaan istilah “Indonesia” untuk menyebut negara kita ini. Dimana selanjutnya istilah Indonesia dipandang sebagai identitas nasional, lambang perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan. Kata yang mampu mempersatukan bangsa dalam melakukan perjuangan dan pergerakan melawan penjajahan, sehingga segala bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia bukan atas nama daerah lagi.
Istilah Indonesia mulai digunakan sejak :
Secara garis besar Nasionalisme pada masa Orde Baru adalah Orba menafsifrkan nasionalisme dengan corak sentralisme birokratik yang jauh lebih ekstrim dari masa sebelumnya. Dengan legitimasi memulihkan stabilitas nasional, orde ini mempunyai ciri pokok, yaitu :
Otoriteriarisme yang secara militeristik dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pada masa pemerintahan Orde Baru, Predsiden Soeharto menyebarkan rasa nasionalisme kepada masyarakat Indonesia dengan berbagai macam cara. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan cara menghargai produk-prodk dalam negeri. Dengancara yang seperti itu, otomatis masyarakat Indonesia akan mempunyai rasa cinta tanah air yang lebih tinggi dibandingkan dengan kita memakai produk dari luar negeri. Walaupun ada juga sebagian dari masyarakat kita yang pada masa itu menggunakan produk luar negeri, namun pada masa pemerintahan Soeharto masyarakat Indonesia disuruh untuk lebih menghargai produk dari negeri sendiri.
Selain untuk menghargai dan menumbuhkan semangat nasionalisme, hal tersebut juga berfungsi sebagai penambah pemasukan dalam negeri agar membantu perekonomian dalam negeri juga, karena keberhasilan pememrintahan Soeharto pada masa itu salah satunya juga dalam bidang ekonomi. Pada masa pemerintahan Soeharto perolehan GDP meningkat drastis, yang dulunya sempat mengalami inflasi cukup besar, namun Soeharto mampu untuk mengendalikannya.
Hal-hal yang diperjuangkan pada masa Orde Baru, yang bersifat nasionalisme adalah:
Melalui hal-hal yang diperjuangkkan itu, Orde Baru menghendaki tata pikir yang lebih nyata dan tepat guna tanpa meninggalkan idealisme perjuangan, mengutamakan kepentingan nasional.
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam Gerakan 30 September dan diragukan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966. Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September. Militer sejak awal terlibat dalam politik. Sejak awal kelahirannya, militer Dilibatkan dalam urusan sosial politik yang umumnya menjadi porsi kerja para politisi sipil. Keerlibatan militer dalam perjuangan pembebasan nasional kerap kali dijadikan justifikasi bagi peranan politik yang besar ini.
Sejak pembentukannya, militer Indonesia telah memaklumkan diri sebagai sebuah partai politik sama halnya dengan kekuatan militer, dan semua militer melihat dirinya dalam peran “pengawal” yang sebenarnya, tapi pada akhirnya menuntut hak-haknya untuk terus berpartisipasi dalam kehidupan politik. Orientasi politik pada para perwira menjadi hanya sebagai kelompok yang mudah menerima gagasan untuk secara aktif ikut serta dalam peristiwa-peristiwa kenegaraan.
Peran TNI dalam Bidang Politik
Di masa Orde Baru, peran militer jauh melampaui peran spesifiknya di bidang pertahanan dan keamanan nasional. Biasanya, keterlibatan militer di bidang politik disebut dengan intervensi. Akan tetapi, begitu besarnya peran militer di Indonesia sehingga istilah "intervensi" tampak teramat sederhana dan tidak dapat mencerminkan besarnya skala dan cakupan peran militer tersebut.
Pada sisi lain, baik pada Orde Baru maupun Orde Lama, para politisi cenderung memanfaatkan militer untuk kepentingan politik. Dengan demikian, proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia diharapkan menyehatkan hubungan sipil-militer dari kedua belah pihak. Artinya, supremasi sipil tetap ditegakkan, tetapi kalangan sipil juga harus bertekad menghindari penggunaan militer untuk kepentingan politik.
Peranan TNI dalam bidang politik dimulai dengan dikenalkannya politik pada tentara yaitu pada masa kabinet Amir Syarifudin. Pada masa itu, TNI dibagi ke dalam dua bagian, yaitu Deaprtemen pertahanan dan TNI Mobil. Departemen pertahanan ini dipimpin langsung oleh Amir Syarifudin, sedangkan TNI Mobil Dipimpin oleh Sudirman. Dalam Departemen Pertahanan inilah pendidikan politik pada TNI diberikan. Sejak itulah TNI mulai mengenal dunia politik.
Pada tahun 1965, tepatnya 1 oktober 1965, TNI melakukan kudeta militer terhadap Presiden Soekarno. Akan tetapi, kudeta tersebut tidak terlaksana dan hanya sekedar domonstrasi bersenjata saja di depan Istana Negara. Salah satu faktor penyebab terjadinya peristiwa itu adalah adanya keinginan pihak TNI untuk dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan politik. Namun, hal tersebut ditolak oleh Soekarno.
Salah satu di antara peran non-pertahanan yang dimainkan oleh TNI adalah peran sosial-politik. Melalui konsep kekaryaan, peran militer yang mencolok dibuktikan dengan banyaknya perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan politik dan pemerintahan. Perwira-perwira militer, termasuk yang aktif, mulai dari menjadi kepala desa/ lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, sampai menjadi menteri. Bahkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pernah diisi oleh orang militer secara bersamaan. Selain itu, militer menduduki jabatan-jabatan lain yang seharusnya diduduki oleh birokrat sipil mulai dari kepala dinas, kepala kantor departemen, inspektur jenderal, direktur jenderal, sampai sekretaris jenderal. Selain itu, militer juga mengisi kursi di lembaga legislatif dan memiliki fraksi tersendiri yakni fraksi ABRI, baik di DPR maupun DPRD, yang diperoleh melalui penjatahan, bukan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Jumlah kursi di DPR yang dijatahkan untuk militer pernah mencapai 100 kursi, kemudian dikurangi menjadi 75, dan sekarang menjadi 38.
Tidak cukup sampai di situ saja, militer juga hadir di badan-badan ekonomi seperti Badan Usaha Milik Negara dan koperasi. Organisasi politik, organisasi kepemudaan, dan organisasi kebudayaan serta olahraga juga terbuka bagi militer. Praktek penjatahan jabatan-jabatan sipil yang diberikan kepada militer, baik di tingkat pusat maupun daerah, berjalan lancar. Lebih lanjut lagi, praktek yang tidak selaras dengan spesialisasi fungsi militer tadi, didukung dan dibenarkan dengan mengeksploitasi tafsiran-tafsiran historis, ideologis, dan konstitusional. Disebutkan bahwa peran yang dominan itu selaras dengan fakta bahwa militer adalah tentara rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Konsekuensinya, dikotomi sipil-militer tidak dikenal dalam sistem politik Indonesia dan kedudukan militer dalam jabatan-jabatan sipil dapat dibenarkan.
Secara ideologis, militer mengedepankan dan mensosialisasikan dwifungsi ABRI sebagai alasan bagi perangkapan fungsi militer dan penguasaan militer atas posisi-posisi politik, sosial dan ekonomi. Argumen konstitusional juga diberikan dengan menyalahgunakan pasal 2 UUD 1945 sehingga militer dianggap termasuk ke dalam kategori “golongan” yang berhak duduk di lembaga legislatif. Peran militer yang dominan seperti terjadi pada masa Orde Baru tentu saja menimbulkan berbagai dampak yang negatif dan destruktif dilihat dari pembinaan tatanan politik yang demokratis. Dominasi militer bukan hanya di birokrasi sipil saja tetapi juga militerisasi masyarakat sipil, misalnya pembentukan resimen mahasiswa dan lembaga-lembaga paramiliter sebagai bagian dari organisasi massa. Sebagai akibatnya, di kalangan masyarakat sipil muncul budaya dan perilaku yang militeristis. Akan tetapi, hal tersebut tidak sepenuhnya negatif dan destruktif, ada pula sisi positif yang bisa diambil dari dibentuknya organisasi masa yang berbasis militer tersebut, yaitu dengan tumbuhnya rasa nasionalisme yang tinggi pada kaum muda, yang saat ini rasa nasionalisme pada jiwa kaum muda bangsa Indonesia sudah minim sekali.
Disamping itu juga, dominasi politik TNI mendorong bangsa dan negara Indonesia ke arah disintegrasi. Walaupun hal ini menjadi masalah di seluruh Indonesia, gejalanya terlihat paling jelas di Timor Timur, Aceh dan Ambon. Keadaan ini sungguh ironis mengingat bahwa selama ini TNI menganggap dirinya sebagai kekuatan pemersatu bangsa dan negara. Reformasi posisi dan peran militer tersebut perlu dilaksanakan, dan dilaksanakan sesegera mungkin, berdasarkan anggapan bahwa fungsi militer perlu dikembalikan ke bidang pertahanan saja. Sebab, militer sebagai alat negara terbentuk supaya di dalam struktur negara ada badan yang diberi wewenang untuk memonopoli penggunaan senjata. Itulah sebabnya, prinsip dan praktek demokrasi mengharuskan militer menjadi alat negara yang menjalankan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan, sedangkan kebijakan itu dibuat oleh pihak lain seperti pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk secara demokratis.
Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa, apabila monopoli tersebut gagal atau bermasalah, akan terjadi beberapa kemungkinan yang tidak diinginkan oleh masyarakat dan militer sendiri yang ingin hidup tenteram dan demokratis. Salah satu di antaranya adalah militer yang kebal hukum, yaitu dimana militer menyalahgunakan monopoli tersebut, tetapi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer tidak diusut dan diadili dengan tuntas. Dua kemungkinan lain adalah pecahnya perang saudara, yaitu ketika suatu unsur masyarakat melanggar prinsip monopoli di atas dan menggunakan kekerasan senjata terhadap unsur masyarakat lain, dan pemberontakan, yaitu bila suatu unsur masyarakat melanggar monopoli tersebut dan menggunakan kekerasan senjata melawan pemerintah. Biasanya, dalam situasi ketika monopoli tersebut terancam, militer dihadapkan pada berbagai persoalan seperti demoralisasi, perpecahan internal, dan gangguan pada hirarki komando. Oleh karena itu, reformasi posisi dan peran TNI sebagai bagian dari proses demokratisasi di Indonesia adalah demi kebaikan TNI pula.
Fenomena di atas telah sering dipertanyakan di masa lalu. Namun, sistem otoriter yang kaku tidak memungkinkan adanya perubahan yang mendasar. Dalam era reformasi ini, suara dan desakan dari masyarakat semakin keras menuntut adanya reformasi posisi dan peran militer menuju kehidupan yang demokratis di Indonesia. Tuntutan tersebut dijawab oleh TNI dengan “Paradigma Baru-nya”. Pelaksanaan paradigma tersebut telah membawa dampak yang cukup positif. Misalnya, TNI memutuskan hubungan historisnya dengan Golkar dan bersikap cukup netral dalam pemilu yang lalu. Proses reformasi kepolisian juga dimulai dengan dipisahkannya POLRI dari ABRI. Contoh lain adalah kebijakan baru yang mengharuskan anggota aktif TNI yang menduduki jabatan sipil untuk memilih kembali ke satuannya atau pensiun. Namun, di sisi lain, paradigma itu dinilai tetap mempertahankan peran sosial-politik TNI, walaupun pada tingkat intensitas yang lebih rendah. Di samping itu, pelaksanaan paradigma itu terkesan lebih merupakan upaya TNI untuk memperbaiki citranya daripada menyelesaikan persoalan yang sebenarnya. Akan tetapi, sudah ada usah dari pihak TNI untuk memperbaiki funfsi dan tugasnya, walaupun itu hanya untuk sekedar merubah citra belaka, yang terpenting, sudah ada perubahan dalam tubuh TNI, sehingga dominasi TNI dalam bidang politik akan semakin berkurang, dan suatu saat nanti harus sama sekali habis. Oleh karena itu, kehadiran Paradigma Supremasi Sipil ini dirasakan perlu untuk lebih memperluas wacana publik mengenai penataan kembali hubungan sipil-militer di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999. Dengan demikian, sangat diharapkan bahwa rekomendasi yang terkandung dalam cetak biru ini dapat diwujudkan dalam ketetapan MPR, sebagai landasan kebijakan pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Pada tahap-tahap awal Orde Baru, mengkonsolidasi kesatuan didalam Angkatan Bersenjata merupakan prioritas utama angkatan Darat. Ini berarti bahwa persaingan antar dinasperlu dikurangi dan korps perwira yang lebih homogen dengan kesetiaan kepada Orde yang baru berdiri perlu diciptakan. Konsolidasi merupakan prioritas karena dengan adanya keterlibatan unsur-unsur beberapa divisi dan bagian-bagian angkatan dalam usaha kudeta, karena dengan adanya kesetiaan yang langgeng yang ditunjukkan banyak perwira kepada Soekarno. Angkatan Udara dibebaskan total karena keterlibatan perwira-perwira yang terkemuka dalam usaha kudeta, namun Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian yang tidak seberapa terlibat dalam kudeta tidak bisa semudah itu dibersihkan dari para Soekarnois. Dalam bulan Oktober 1969, kerika Angkatan Darat sudah mantap mengkonsolidasi posisinya dan Soeharto akhirnya menggantikan Soekarno, Mayor Jendral Sumitro dalam kapasitasnya sebagai Kepala Departemen Pertahanan dan keamanan mengemukakan sebuah program reintegrasi untuk Angkatan Bersenjata. Tujuannya ialah mengakhiri kemandirian operasional setiap angkatan. Komando operasional semua angkatan dialihkan ke Presiden Soeharto sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Dalam usahanya membersihkan masyarakat Indonesia dari pengaruh politik, Murtopo berpendapat bahwa ideologi adlah akar dari semua kekacauan Indonesia di masa lalu, dan oleh karenanya ideologi perlu disingkirkan dari politik. Letnan Jendral Murtopo mengajukan Pancasila sebagai bentuk ideologi pengimbang. Militer akan membela ideologi itu sesuai dengan tujuan Letnan JendralMurtopo untuk Mendepolitisasi politik Indonesia. Sebetulnya ketakutan pada ideologi ekstrem buknlah fenomena yang semata-mata milik Orde Baru.
Tahun-tahun pemerintahan Soeharto diwarnai dengan praktik otoriter dimana tentara memiliki peran dominan didalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik disamping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindasselama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan negeri dengan pembatsan jumlah partai politik, penerapan sensor, dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Goljar. Pada masa Orde Baru, gaya kepemimpinannya adalah otoriter/militeristik. Seorang pemimpin yang otoriter akan menunjukkan sikap yang menonjolkan keangkuhannya dengan cara kecenderungannya memperlakukan bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka dan mempengaruhi orang banyak.
Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gata kepimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh kedepan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Pada masa awal pemerintahan Soeharto dinilai sangat tepat untuk menetapkan pemerintah yang Otoriter, namun setelah tahun 1980-an sistem pemerintah yang otoriter tersebut dinilai sangat kurang tepat karena keadaan Indonesia sudah sangat berubah. Awal pemerintahan Soeharto dinilai tepat dengan sistem pemerintahan otoriter karena pada saat itu Indonesia sedang bergolak. Setelah tahun 1980-an Indonesia sudah mulai stabil lagi dari pergolakan tersebut.
Masyarakat semakin cerdas da semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan seperti itu masa pemerintahan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat.. untuk tetap mempertahankan kekuasaanya Soeharto menggunkan cara-cara yang represif pada semua pihak yang melawannya.
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang menjadi pusat kekuasaan pemerintah dan negara. Media cenderung menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang lebih suka berada dilokasi pusat kekuasaan , di Jakarta sebagai Ibukota Negara. Meskipun ia sering melakukan perjalanan dinas dan pribadi/keluarga, baik didalam maupun diluar negeri, media lebih sering menyajikan liputan tentang aktivitas kmunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto di Jakarta.
Penggambaran media yang demikian tentang Presiden Soeharto diperkuat dengan penggambaran bahwa ketika di Jakarta Presiden Soeharto lebih sering berada di Istana Negara atau Istana Merdeka dibanding ditempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi sebagai simbol kekuasaan dirinya sebagai pemimpin tertinggi dalam organisasi pemerintahan negara, dan organisasi-organisasi lainnya. Bahkan, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang sering berada di Istana dibanding di Bina Graha, kantor atau tempat ia biasanya bekerja.
Dilihat dari Orientasinya pada pemeliharaan hubungan Presiden Soeharto cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert (1961) disebut “Explorative authoritative”, kurang demokratis. Selain itu Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap peryataan orang lai dibandingkan menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri.
Presiden Soehart digambarkan sebagai seorang pemerintah yang otoriter, yang menerapkan gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto cenderung ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional. Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar pemerintah dan instruksi yang disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain berisi permintaan agar keselamatan dan keselamatan pembangunan nasional selalu diprioritaskan.
Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden Soeharto ketika meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah perlunya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan stabilitas politik, upaya menciptakan masyarakat adil dan makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang otoriter mempunyai beberapa kekurangan dan kelebihan selama beliau memimpin di negeri ini. Kekurangan yang ada pada masa pemerintahan Orde Baru adalah Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijkan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelahIndonesia diterima pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadap modal asing. Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Lama. Pengucilan politik- di Eropa Tmur sering disebut Iustrasi- dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminak dilakukan dengan menggelarMahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadlan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau Buru.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1996 dankonsep akselerasi pembangnan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merekonstrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa terapainya stabilitas politik pada satu sisi pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dengan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto warga Tionghoa juga dilarang untuk berekspresi. Sejak tahun 1967, warga kerunan dianggap sebagai warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkn oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditukis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberikan izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga disana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintahan Orde baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluran rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang ajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada masa pemerintahan Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan “persatuan dan kesatuan bangsa”. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali, dan Madura ke Luar Jawa terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jiwanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa diberbagai daerah, meskipun tidak semua Transmigran itu orang Jawa.
Gaya kepemimpinan tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan masa presiden Soeharto secara umum adalah otoriter, dominan, dan sentralis. Dari periode ke periode kekuasaan Presiden Soeharto digambarkan sebagai Kepala Negara, sebagai pudat kekuasaan politik di Indonesia. Perilaku kepemimpinan Presiden Soeharto ada yang berorientasi pada hubungan, tetapi juga ada yang berorientasi pada tugas. Gaya kepemimpinan yang otoriter, kurang demokratis, mengutamakan hubungan dengan digambarkan sebagai gaya kepemimpinan yang otoriter, krang demokratis, mengutamakan hubungan dengan para menteridan pejabat dibawahnya, serta fleksibel: dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan situasi dan kondisi. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas direpresentasikan sebagai gaya kepemimpinan penuh perhatian pada pembangunan dalam lingkup nasional, tidak membedakan pembangunan daerah pedesaan dengan perkotaan meskipun hanya berorientasi pada pembangunan sektor ekonomi saja. Selain itu caranya mempengaruhi orang lain, gaya kepemimpinan Prsiden Soeharto oleh media juga digambarkan sebagai gaya yang cenderung otooriter. Meskipun menggunakan kata-kata atau kalimat netral, tidak bersifat persuasive atau coercice, dan diikuti dengan penjelasan secukupnya. Sebagai seorang pemimpin, presiden Soeharto juga digambarkan sebagai seorang yang tidak suka menonjolkan diri.
Walaupun pada masa pemerintahan Soeharto 32 tahun, namun memberikan dampak yang cukup tragis bagi bangsa Indonesia, yaitu banyak kemelaratan yang terjadi pada masa pemerintahan ini. Maka dari itu masyarakat menyebutnya kolonialisme Orde Baru, karena rakyat sangat merasakan penindasan akibat masa pemerintahan Orde Baru. Masa pemerintahan Orde baru dirasakan cukup berat bagi masyarakat Indonesia cukup berat, apalagi masyarakat yang berada diluar Pulau Jawa. Meraka merasakan ketidakadilan yang dirasakan, yang akhirnya menumbuhkan benih-benih gerakan disintegrasi hingga perusakan barang-barang fisik Indonesia yanng menyebabkan retaknya bangunan nasionalisme Indonesia.
Sifat otoriter dan rasis yang ditunjukkan oleh Presiden Soeharto kepada para mahasiswa adalah pengekangan pergerakan pelajar dan mahasiswa. Organisasi dan pergerakan mahasiswa pun dikekang dimasa Orde baru ini. Mahasiswa diarang berkumpul dalam organisasi kemahasiswaan, apalagi berbau politik dan pergerakan. Kampus-kampus diimbau untuk hanya mengadakan organisasi mahasiswa yang mengusung pengembangan minat dan bakat mahasiswa dibidang olah raga dan seni. Pada tahun 1970, terjadi demonstrasi besar dan meluas oleh para pelajar dan mahasiswa untuk melawan korupsi yang sebenarnya tercium ditahun-tahun tersebut. Respon Soeharto terhadap demoonstrasi adalah melarang keras pelajar dan mahasiswa turun ke jalanan.
Ada hal lain yang menunjukkan sifat otoriter yang dimiliki oleh Presiden Soeharto, hal tersebut cukup membuat kaget ataupun tercengang bagi sebagian orang. Yang dimaksud disini adalah pelarangan jilbab dan pembantaian umat muslim, yah sebagian orang pasti akan tercengang dengan pernyataan tersebut. Ditahun 1980-an, kesadaran umat muslim Indonesia untuk menerapkan kehidupan Islam dalam kegiatan sehari-hari sempat menimbulkan Islamphobia dikalangan masyarakat Indonesia. Soeharto menyebarkan paham bahwa Islam dapat merusak Pancasila dan menganggu stabilitas Politik. Lebih jauh lagi, Presiden Soeharto mengeluaran peraturan yang melarang musimah mengenakan jilbab. Meraka yang berjilbab dianggap pesakitan., orang aneh, bahkan oang yang berpenyakit dan dapat menularkan penyakitnya. Bahkan pda tahun 1984, sepat terjadi pembantain umat muslim dikawasan TanjungPriok, Jakarta. Tragedi ini dinamai Tragedi Tanjung Priok berdarah. Saat itu, pemerintah mengerahkan pasukan militernya untuk melawan umat muslim tanpa senjata, yang berusaha mengaplikasi nilai-nilai Islami dalam kehidupannya. Mereka yang melakukan pengajian ditembaki, perempuan berjilbab dibunuhi. Ini adalah bentuk genosida terencana yang pernah dilakukan oleh Soeharto dimasa pemerintahan otoriternya.
Program ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiata ekonomi akan pulih dari priduksi akan meningkat. Barulah pada tahun 1969 pemerintah mulai menciptakan landasan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), repelita pertama kali fokus krpada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim usaha dan investasi. Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor yang lainpetani juga dibantu melalui penyediaan sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi. Repelita I cukup membawa hasil bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6.7% Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar didunia pada tahun 1970-an. Fokus pada repelita IV dan V, selain berusaha mempertahankan kemajuan disektor pertanian juga mulai bergerak menitik beratkan pada sektor industri khususnya Industri yang menghasilkan baranag ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri. Namun pada awal masa pemerintahan Soeharto, stok produksi beras masa Indonesia baru mencapai 12,2 juta ton. Jumlah ini sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Soeharto berpedoman, “yang penting rakyat bisa makan” (mungkin demikian juga prinsip korupsi, yang penting rakyat masih bisa makan, jadi tak masalah) kemudian berhasil menciptakan rekor yang fantastis. Pada masa Pelita ketiga dalam pemerintahan Orde baru terdiri atas delapan jalur pemerataan, yaitu
Barangkali karena beliau berasal dari keluarga petani sehingga cerdas sekali dalam urusan lumbung makanan penduduk. Tak perlu menunggu 20 tahun, pada tahun 1980an Indonesia berhasil berswasembada pangan. Pada 1984, produksi beras Indonesia berhasil menembus angka 25,8 juta ton! Dalam sekecap (rentang waktu yang cukup cepat) Soeharto berhasil menyulap Indonesia yang awalnya menjadi salah satu pengimpor beras terbesar dunia, menjadi negara yang surplus beras. Hal inilah yang membuat Soeharto diberi medali emas oleh FAO, organisasi pangan dan pertanian dunia dibawah PBB pada 21 Juli 1986.
Lebih hebat lagi, pada masa Soeharto Indonesia juga pernah mengekspor beras. Hal ini tercatat pada November 1985, Soeharto menyerahkan bantuan 1 juta ton gabar untuk rakyat Afrika yang kelaparan Swasembada Beras pada masa awal Orde Baru menitik beratkan fokusnya pada pengembangan sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi dan politik sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian sebagai irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian hingga penyuluhan bisnis. Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di tahun 1992. Untuk program kelahiran juga berhasil dikendalikan melalui program Keluarga Berencana (KB).
Disamping kebijakan ekonomi yang sudah mulai menunjukkan hasil, ternyata kita melihat ada faktor eksternal yang sangat berperan disini. Ada kenaikan harga minyak dunia ditahun 1973-1974, dan ini kemudian berlanjut hingga tahun 1981 Bonanza minyak ini sudah pasti telah memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintahan Soeharto. Tingginya porsi ekspor minyak bumi dan gas alam (migas) yang lebih dari 60% dipertengahan tahun 1970-1n menyebabkan Indonesia menjadi negara yang kaya secara mendadak saat itu karena pendapatan ekspor migas tersebut.
Selama pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP 1), 1970-1995, melalui berbagai sektor pembangunan, dicatat berbagai langkah dan kebijakan telah dilakukan untuk menaggulangi kemiskinan, walaupun kegiatan tidak menggunakan istilah kemiskinan, tapi misalnya muncul istilah pembangunan daerah rawan, rentan, kritis dan lain-lain.
Berdasarkan catatan yang ada, harus diakui, bahwa sejak tahun 1976 jumlah kaum miskin di Indoesia teah turun sebesar 31,7 juta jiwa. Demikian juga dengan angka head count index, dalam periode waktu yang sama menunjukkan, presentase penduduk miskin telah turun dari 40,08% menjadi 11,34% dan penurunan absolute terbesar telah terjadi diwilayah pedesaan. Keberhasilan pada pemerintahan Orde Baru dalam program pengentasan kemiskinan sudah diakui oleh berbagai lembaga termasuk lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Bahkan sebagi mana banyak dikatakan orang, turunnya angka kemiskinan absolut dan prosentase penduduk miskin secara drastis merupakan mukjizat yang diperoleh pada masa Orde Baru. Pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru pada dasarnya sudah melakukan berbagai upaya penaggulangan kemiskinan semenjak dasarwa 1970-an. Sekurang-kurangnya ada tiga corak usaha untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, yaitu pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar, pendekatan pemberdayaan masayarakat, dan pendekatan berbasis hak.
Aspek yang diangga penting dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat atau pendekatanpembangunan berbasis komunitas adalah adanya usaha untuk mengurangi kesenjangan sosial dengan meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia, terutama pada kelompok-kelompok masyarakat yang merupakan penduduk miskin. Upaya-upaya yang ditempuh di dlam pendekatan ini melalui pembangunan infrastruktur pedesaan, distribusi aset ekonomi dan modal usaha/kerja penguatan kelembagaan masyarakat. Atas dasar kondisi yang memprihatinkan tersebut Presiden Soehato yang memimpin pemerintahan Orde Baru mengambil berbagai langkah kebijakan dan tindakan utnuk mencoba mengatasi dan memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia yang memang sudah parah saat itu.
Militer pada masa Soeharto sangat berpengaruh dalam masa pemerintahannya. Pada masa pemerintahan Soeharto militer sangat difasilitasi kebutuhannya, hal itu bertujuan untuk menguatkan angkatan atau militer. Militer sangat mendukung masa pemerintahan Soeharto, karena doktrin Soeharto kepada militer sangat kuat. Bukan hanya itu saja, pada masa pemerintahan Soeharto militer sangatlah kuat, seperti halnya mempertahankan Timor-Timur. Kekuatan utama militer pada saat itu lebih didominasi oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Pada masa pemerintahan Soeharto militer juga memberikan dukungan penuh terhadap pemerintahan Soeharto. Hal itu dibuktikan pada masa setelah PKI 1965, pada saat itu militer sangat tunduk patuh terhadap pemerintahan Soeharto. Karena pada masa itu Soeharto yang membantu penumpasan peristiwa G30S/PKI yang menggugurkan tujuh pahlawan revolusi. Bukan hanya itu saja, setelah peristiwa itu Soeharto diangkat menjadi Mayor Jendral Besar TNI-AD. Maka dengan itu Soeharto makin kuat kekuasaannya dan para anggota militer makin memberikan dukungan kepada Soeharto. Dengan seperti itu militer mempunyai perlindungan penuh dari presiden pada masa itu.
Hubungan antara militer dan Soeharto bukan hanya terjadi pada masa G30S/PKI saja, namun diluar hal itu juga terjalin cukup baik. Bahkan sampai saat ini juga Soeharto namanya masih harum didalam militer, terutama namanya masih harum dan akan tetap harum di hati para TNI-AD karena Mayor Jendral Besar mereka atau panutan mereka adalah Presiden Soeharto. Karena pada masa pemerintahan Soeharto dulu yang mendapat pengaruh paling besar juga para anggota TNI-AD, karena bagaimanapun juga Soeharto namanya menjadi besar juga atas TNI-AD.
Masa pemerintahan Soeharto juga memberikan kekuatan tersendiri bagi militer, kekuatan untuk menghadapi musuh besar dari bangsa barat. Jika kekuatan militer itu diperbaiki maka akan dengan sendirinya militer atau keadaan bangsa Indonesia menjadi terlindungi karena dengan diperkuatnya angkatan dari semua angkatan atau militer pada masa pemerintahan Soeharto sangat kuat. Bukan hanya itu saja, pemerintah Soeharto mempunyai alasan tersendiri mengapa beliau memprioritaskan militer pada masa pemerintahannya. Karena kalau militer kuat, otomatis semua akan aman, karena kekuatan utama Indonesia ada pada militer. Maka dari itu alasan Soeharto untuk memperkuat militer sangatlah tepat.
Militer pada masa orde baru selalu bertumpu pada politik yang mana pada masa itu militer sangat berpengaruh terhadap negara, karena pada masa itu militer dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menopang pemerintahan pada masa itu agar pemerintahan kuat dalam segi pertahanan. Maka dari itu pada masa orde baru militer juga berperan sebagai politik yang sangat mendukung tentang pemerintahan pada masa itu. Kerja sama antara militer dan pemerintah pada masa orde baru sangatlah kuat, maka dari itu munculah beberapa barisan militer pada masa orde baru. Seperti halnya saat militer dijadikan arbitator atau wasit politik : dalam keadaan pemerintahan sipil menghadapi krisis, militer dijadikan penengah untuk mengatasi dan mengendalikan krisis. Misal melalui pemberlakuan umdang-undang darurat perang. Biasanya setelah menjadi wasit, militer akan melepas peranan politiknya dengan memanfaatkan peran kewasitannya. (penjelasan dalam buku bisnis militer orde baru; halaman 16)
Soeharto dan Barisan Jendral Orba”
Buku ini rinci mengupas sepak terjang dan kepiawaian Soeharto sebagai dalang jendral-jendralnya yang sangat setia mendominasi kelompok elite Orde Baru. Dikisahkan bagaimana Soeharto memainkan mereka dalam perang melawan barisan jendral sakit hati yang menentang kekuasaan Orde Baru, entah karena tak kebagian jatah “kue kekuasaan” atau dianggap tidak sejalan. Termasuk perang terhadap kelompok Islam politis yang dianggap Soeharto sebagai musuh bersama. David Jenkins yang tulisannya pada 1986 menggemparkan karena membuka borok Soeharto dan bisnis keluarganya, mengerahkan segudang data dan menyajikan beragam wawancara, bahkan dengan para jendral yang berada di lingkar dalam Soeharto maupun yang tergolong pembangkang. Berbagai data akurat termasuk yang “top secret” berhasil ia peroleh berkat kepiawaiannya sebagai sarjana dan wartawan kawakan. Hasilnya uraian sejarah yang secara gamblang menggambarkan kekuasaan rezim militer yang penuh intrik, rekayasa dan tipu daya.
Karya yang sangat mengesankan. Perpaduan terbaik antara analisis sejarah dan penjelasan politik militer. Buku ini akan bertahan bertahun-tahun sebagai kunci mengenai Orde Baru.
Kisah Buruk Soeharto di mata Subandrio
Buku memoar tersebut adalah bentuk pembelaan Subandrio terhadap tudingan sepihak yang dialamatkan kepada dirinya: terlibat G30S. Tudingan itu sungguh pahit. Tidak hanya karena Subandrio harus mendekam di penjara selama 30 tahun, tetapi juga harus memikul aib sebagai penghianat bangsa.
Namun, melalui memoarnya tersebut, Subandrio melancarkan serangan balik ke Soeharto. Ia menuding Soeharto justru telah melakukan kudeta merangkak terhadap kekuasaan Soekarno. Tak hanya itu, buku setebal 80 halaman itu juga membeberkan cacat Soeharto. Menurut Soebandrio, Soeharto punya rekam jejak yang buruk jauh sebelum peristiwa G30S. Yang pertama, semasa di divisi Diponegoro, Soeharto menjalin relasi dengan pengusaha tionghoa, Liem Sioe Liong. Keduanya menjalankan bisnis penyelundupan berbagai barang.
Saat itu, kata Soebandrio, Soeharto berdalih bahwa bisnis penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. “Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya,” ujar Soebandrio. Belakangan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan Kodam Diponegoro, melainkan untuk kepentingan pribadi Soeharto dan Liem. “Duitnya masuk ke kantong Soeharto dan Liem,” kata Soebandrio.
Kabar itu berhembus kemana-mana. Kata Soebandrio, ketika berita itu mencuat, Jenderal Ahmad Yani sangat marah. Sampai-sampai, dalam suatu kejadian, Yani menempeleng Soeharto. Soeharto dianggap mempermalukan korps Angkatan Darat (AD). Tak hanya itu, Jenderal AH Nasution mengusulkan agar Soeharto diadili di Mahkamah Militer dan dipecat dari AD. Namun, usulan itu dimentahkan oleh Mayjend Gatot Subroto. Alasannya, Soeharto masih bisa dibina. Akhirnya, Soeharto pun disekolah di Seskoad di Bandung.
Cerita tentang Soeharto sebagai penyelundup ini bukan barang baru. Harold Crouch dalam The Army and Politics In Indonesia juga menyinggung hal tersebut. Menurut Crouch, Soeharto dicopot tahun 1959 karena keterlibatannya dalam penyelelundupan. Robert E Elson, yang menulis buku Suharto, A Political Biography (2001), juga menyinggung bisnis ilegal Soeharto tersebut. Yang Kedua, Soeharto membangun klik di dalam tubuh Angkatan Darah (AD) saat itu. Soebandrio menyebutnya Trio Soeharto-Yoga-Ali. Awalnya, pada tahun 1959, Soeharto tiba-tiba memanggil pulang Yoga Soegama, yang saat itu masih menjabat sebagai Dubes Indonesia di Yugoslavia. Saat itu, Soeharto memanggilan Yoga untuk diberi jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad.
Bagi Soebandrio, pemanggilan Yoga oleh Soeharto itu bermasalah. Pertama, pemanggilan Yoga itu diluar aturan formal alias menabrak aturan. Semestinya, kata Soebandrio, yang punya otoritas memanggil Yoga itu adalah Ahmad Yani selalu Menteri/Panglima AD (Menpangad). Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah untuk mensabotase politik Bung Karno. Ketiga, untuk menghancurkan PKI.
Menurut Soebandrio, komplotan trio Soeharto-Yoga-Ali ini sudah berlangsung erat semasa di Kodam Diponegoro. Bahkan, Soeharto pernah menggunakan komplotannya ini untuk mensabotase rencana pengangkatan Kolonel Bambang Supeno sebagai Panglima Kodam Diponegoro.
Saat itu, pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno sebagai Pangdam Diponegoro. Kabar itu tercium oleh Soeharto, yang saat itu masih berpangkat Letkol tetapi ‘ngebet’ sekali jadi Pangdam. Untuk meraih cita-citanya, Soeharto menggelar rapat gelap dengan sejumlah perwira di Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Yoga Soegama, yang notabene komplotan Soeharto. Ketiga, Soebandrio juga menyingkap keterlibatan Soeharto dalam percobaan kudeta yang dirancang Tan Malaka untuk menggulingkan Kabinet Sjahrir pada tanggal 3 Juli 1946. Awalnya, kata Soebandrio, kelompok Tan Malaka mengajak semua kalangan militer di Jawa Tengah, termasuk Soeharto, dalam gerakan tersebut.
Pada tanggal 20 Juni 1946, Perdana Menteri Sjahrir diculik oleh kelompok Soedarsono. “Soeharto selaku salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam penculikan itu,” ujar Soebandrio.
Tanggal 2 Juli 1946, dua batalyon pasukan penculik berkumpul di markas Soeharto. Pasukan itu kemudian dikerahkan untuk menguasai aset strategis, seperti RRI dan Telkom. “Malam itu juga mereka menyusun surat pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya ditandatangani oleh Presiden Soekarno esok harinya,” ungkap Soebandrio. Tetapi percobaan kudeta itu gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Pada saat itulah Soeharto berbalik arah, dari awalnya berkomplot dengan penculik kemudian menangkapi para penculik.
Namun, cerita tentang kelicikan Soeharto dalam peristiwa percobaan kudeta tanggal 3 Juli 1946 itu bukan cerita baru. M Yuanda Zara dalam bukunya Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia juga mengungkap kelicikan Soeharto itu. Menurut Yuanda, Soeharto sebetulnya terlibat dalam pembebasan tahanan pro-kudeta di penjara Wirogunan. Ia kemudian membawa tanahan itu ke markasnya, di Wiyoro, di mana Soedarsono sudah menunggunya.
Di malam itu juga, kata Yuanda, Mohammad Yamin Cs membuat konsep maklumat kepada Presiden Soekarno, yang isinya seolah-olah penyerahan kekausaan kepada Tan Malaka. Pembuatan konsep maklumat itu dilakukan di markas Soeharto. Rencananya, maklumat itu akan dibawa oleh Soedarsono esok paginya, 3 Juli 1946, ke Presiden Soekarno. Dengan liciknya, Soeharto membocorkan info ini ke pihak Istana dan sekaligus memberitahu rencana Soedarsono ke Istana. Alhasil, pada tanggal 3 Juli 1946, ketika Soedarsono ke Istana Presiden, ia dengan gampang dilucuti oleh pasukan pengawal Presiden.
Padahal, sebelumnya Bung Karno pernah memerintahkan Soeharto melalui pesan yang dibawa oleh Sundjojo, Ketua Pemuda Pathuk, untuk menangkap atasannya, Mayor Jenderal Sudarsono, karena dicurigai ingin merebut kekuasaan. Tetapi Soeharto menolak perintah Presiden Soekarno tersebut. Sampai-sampai Soekarno marah dan menyebut Soekarno sebagai “Opsir koppig” (opsir yang keras kepala). Kejadian ini memperlihatkan kepada kita, betapa lihainya Soeharto dalam membaca situasi, mengambil keuntungan di dalamnya, dan secara licik tampil sebagai pahlawan. Yuanda menyebut ini strategi nglurug tanpa bala, menyerbu tanpa pasukan, tetapi memakai tangan orang lain untuk kepentingannya.
Soeharto di Bawah Militerisme Jepang
Buku ini adalah satu-satunya karya ilmiah yang membicarakan perjalanan hidup Soeharto di usia awal 20-an, di masa-masa yang penuh gejolak dan perubahan kondisi sosial politik yang tak terduga. Inilah perjalanan hidup Soeharto di usia awal 20-an, di masa-masa yang penuh gejolak dan perubahan kondisi sosial politik yang tak terduga. Pulau Jawa di awal 1942 dalam keadaan panik dan bingung. Menyerahnya Belanda kepada kekuatan Jepang telah membalikkan mitos keunggulan bangsa Eropa (Belanda). Kekuasaan tanpa tantangan di Jawa selama 110 tahun itu berakhir hanya delapan hari pertempuran. Rakyat Jawa, termasuk Soeharto, seperti tersadar bahwa ternyata ada yang melebihi superioritas Eropa, yaitu saudara sesama Asia, Jepang, yang bertempur dengan roh spiritual, semangat juang dan tanggungjawab atas kewajiban suci kepada Kaisar Jepang. Dan semua itu adalah nilai-nilai yang sangat dipahami orang Jawa.
Soeharto muda, dengan ketenangan, loyalitas, kecakapan dan kesederhanaan perilakunya, telah memberi kesan mendalam bagi para instrukturnya, para perwira Jepang, di Peta. Berkali-kali Soeharto mendapatkan tugas khusus dan penting, termasuk tugas melatih kembali batalyon Peta Blitar setelah mereka melakukan pemberontakan, suatu tugas yang sangat sensitif.
David Jenkins, wartawan senior Australia ini, tidak main-main mengumpulkan segala keping puzzle, menyatukan ingatan tokoh-tokoh yang terlibat di masa muda Soeharto, yaitu para pejabat Tentara ke-16 AD Jepang dan Beppan serta kawan-kawan Soeharto di Peta. Lewat serangkaian wawancara, David Jenkins mendapatkan temuan-temuan menarik dan humanis, melengkapi daftar referensi yang membuat buku Soeharto di Bawah Militerisme Jepang ini bukan sekadar sajian intelektual, tapi juga sebuah tuturan riwayat yang informatif atas seorang pemuda, yang karena kecakapan sekaligus keberuntungannya, kelak menjadi penguasa sebuah rezim, Orde Baru.
Kebangkitan Soeharto, Kebangkitan Kapitalisme Indonesia.
Rezim Soeharto memang telah runtuh. Namun, perbincangan mengenai rezim ini tidaklah berhenti. Rezim ini selalu dibicarakan terkait pengaruhnya terhadap Indonesia. Salah satu perubahan yang paling menarik untuk diteliti ialah berkembangnya kapitalisme di Indonesia.
Richard Robison dalam buku Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia menguraikan dengan baik evolusi negara-terkait pertumbuhan kelas kapitalis-zaman prakolonial, kolonial, orde lama, hingga orde baru. Penjelasan yang sistematis ini diperlukan untuk melihat sifat dari kapitalisme Indonesia. Jika kita melihat secara runut sejarah, sifat kapitalisme Indonesia sangat unik. Sejak awal kemunculannya, kelas kapitalis Indonesia sangat berbeda dengan Amerika dan Eropa. Kaum borjuis Indonesia tidak melakukan pertentangan terhadap kaum feodal. Dalam analisis Marx tentang sejarah perkembangan masyarakat, kelas borjuis ini mulai tumbuh di masa feodalisme. Kemudian mereka inilah yang melakukan revolusi, menengelamkan kekuasaan feodalisme yang dianggap menghambat gerak mereka.
Dalam buku ini, dijelaskan kerangka masyarakat nusantara prakolonial, tidak mengarah pada terbentuknya borjuasi pemilik tanah, borjuasi pertanian, dan borjuasi perdagangan. Bahkan hingga Belanda membawa sistem industrialisasi ke Hindia Belanda, sedikit sekali pribumi yang dapat berkembang menjadi kelas borjuis. Bahkan, Robison melihat kultur feodalisme menginternalisasi di setiap lapisan masyarakat. Salah satunya nilai-nilai patronase yang tertanam kuat hingga kini.
Selain itu, ada yang paling menarik dari buku ini. Robison akan membawa kita pada dinamika pembentukan kelas kapital domestik dan kapital milik negara. Pasca kemerdekaan, keduanya merupakan faktor penentu dalam membentuk sejarah kapital Indonesia kontemporer.
Sejak 1949, ketika pemerintahan dijalankan dengan parlementer, negara berusaha menciptakan landasan pijak bagi akumulasi kapital para kapitalis. Kondisi yang diciptakan berupa pemberian pinjaman modal (pada realitasnya sering mengalami gagal bayar), menciptakan regulasi khusus, proteksi dan subsidi negara. Akhirnya, yang tumbuh dari sistem ini hanyalah kelas kapitalis kecil dan lemah. Mereka bukanlah golongan yang menyandarkan pada individualitas dan kemandirian, sebagaimana nilai-nilai kapitalisme itu sendiri. Apalagi, kelas kapital swasta domestik tersebut mengandalkan hubungan spesial dengan partai-partai politik saat itu. Kebijakan tersebut secara umum pun dianggap gagal. Struktur ekonomi tetap sama dengan masa kolonial lahir. Antitesisnya, membentuk kapitalisme negara. Inilah yang diterapkan demokrasi terpimpin, yang ternyata disokong dan digerakan oleh militer. Dengan kendali militer, perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi dan dikendalikan militer. Hasil nasionaliasasi ini membentuk BUMN.
Kapitalisme asing baru bermain di Indonesia ketika Soeharto menaiki tampuk kekuasaan. Selain mengundang perusahaan swasta asing, pemerintahan Soeharto juga mengundang lembaga utang asing untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang sempat terpuruk di akhir demokrasi terpimpin. Kebijakan tersebut memicu peristiwa Malari, sebagai titik balik kebangkitan kapitalisme swasta domestik. Negara mengambil peran sebagai katalisator. Bisa dikatakan bahwa mereka lahir dari rahim negara. Setelah, kelas kapitalis ini dapat berlari kencang, mereka bertransformasi menjadi kelas terpenting dalam ekonomi politik Indonesia. Dampaknya, setiap kebijakan pembangunan wajib mempertimbangkan kepentingan mereka. Anehnya, sekalipun kelas kapitalis ini lahir dari rahim negara, negara tidak luput dari cengkramannya. Ibarat kacang lupa kulitnya.
Gilanya lagi, hubungan antara kaum birokrat negara dengan kapital swasta berkembang lebih intim dan rumit yang menjurus pada pembentukan basis sosial atas kekuasaan negara. Penguasa dan pengusaha menyatu melalui persetubuhan modal dan birokrasi Negara. Semuanya berujung pada kelahiran keluarga-keluarga politik birokratis serta konglomerat raksasa yang posisinya tidak ditentukan oleh mekanisme pasar yang abstrak, tetapi lewat pertautan dengan suatu sistem patronase amat korup dan tersentralisasi di bawah Soeharto. Inilah perkembangan mendasar kelas kapital di Indonesia yang berpusat pada elemen korporasi yang lebih besar dari pada kapital kecil yang semakin surut perannya.
Karena itulah, jangan heran jika kaum kapitalis tidak akan mengubah kultur feodalisme. Mereka tidak akan membawa perangkat institusi dan ideologi demokrasi liberal seperti masyarakat barat. Toh, mereka sudah dininabobokan negara. Sangat mungkin mereka mempertahankan apapun bentuk negaranya, yang penting akses dan pengaruh pada kebijakan negara terjamin.
Lalu bagaimana dengan kelas kapitalis Indonesia? Sejak reformasi terbuka, kelas kapital yang tadinya didominasi kroni-kroni Soeharto, kini lebih terbuka aksesnya. Bahkan untuk kapital asing. Terlebih dengan adanya perdagangan bebas. Masuknya kapital asing seolah ingin mengubur kapital swasta domestik. Jelas mereka lebih resistan. Jika pemerintah tidak memberikan proteksi sewajarnya, terutama pada kelas kapital kecil, maka jangan berharap progam-progam UMKM akan berhasil maksimal. Pendidikan enterpreneur yang tadinya bertujuan menumbuhkan kelas kapital domestik baru pun hanya sebuah utopia. Perselingkuhan penguasa dan pengusaha memang harus dilawan, tapi bukan meniadakan proteksi kelas kapital domestik.
Oleh karena itu, buku ini sangat layak untuk dibaca, seberapapun terlambatnya edisi Indonesia ini. Terlebih karena buku ini bukan hanya kaya data empiris, tapi juga menyumbang pemikiran teoritis.
Isinya adalah :
- Presiden/Panglima tertinggi ABRI/pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS Soekarno, memutuskan, memerintahkan kepada Letjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat, mengambil tindakan yang perlu agar terjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden Soekarno demi keutuhan bangsa dan negara.
- Pengkoordinasian panglima angkatan lain
- Melaporkan dan bertanggung jawab terhadap segala yang berhubungan dengan point kedua.
Surat ini diterbitkan oleh Presiden Soekarno untuk mengembalikan keamanan dan keamanan dan ketertiban. Demonstrasi dan kekacauan di ibukota tak berubah, meski Soekarno telah melantik kabinet Dwikora yang Disempurnakan atau lebih dikenal dengan sebutan “Kabinet 100 menteri” pada tanggal 11 Maret 1967. Dalam rapat kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soekarno pada tanggal tersebut, Letjend Soeharto tidak hadir dengan alasan sakit. Akhirnya, Presiden Soekarno tidak dapat menyelesaikan rapat dan pergi ke Bogor demi alasan keamanan. Pengantian pemerintahan Orde Baru secara resmi ketika Letjend Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia pada tanggal 12 Maret 1967.
Dan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia mengalami peningkatan hasil panen beras yang cukup signifikan. Karena, pada masa itu swasembada pangan cukup baik hingga masyarakat Indonesia merasa kalau kebutuhan beras cukup banyak, hingga ada beras yang diekspor ke Afrika untuk membantu yang sedang kelaparan. Pada masa Orde Baru Presiden Soeharto juga menerapkan rasa nasionalisme yang harus dimiliki oleh masing-masing bangsa Indonesia. Presiden Soeharto juga mengajarkan kalau kita harus menghargai hasil dalam negeri, karena dengan seperti itu kita akan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Namun pada masa Orde baru Presiden Soeharto memasukkan Militer dalam pemerintahan Indonesia untuk ikut berkecimpung dalam dunia Politik Konsep yang diambil dari tema “Orde Baru (kepemimpinan Soeharto)
1. Nasionalisme
Rasa Nasionalisme merupakan rasa. Pada dasarnya atau pada awalnya militer dibentuk sebagai senjata untuk melawan penjajah yang ada di Indonesi awalnya bernama yang bernama PETA menjadi BKR kemudian dilanjutkan dengan terbentuknya TKR kemudian hingga dibentuknya TRI sampai berubah namanya menjadi TNI.Dengan seperti itu maka rasa Nasionalisme yang tumbuh pada diri seorang militer akan sangat tinggi, maka mereka akan semangat juga untuk melakukan tugasnya mengabdi terhadap bangsa dan negara demi tugas yang mulia yang di emban mereka. Pada sesungguhnya tugas Militer adalah melindungi negara dari bahaya yang mengancam, untuk itu para anggota militer harus siap untuk ditugaskan dimana saja, termasuk didaerah perbatasan yang sangat rawan dengan konflik antar negara. Bahkan militer juga harus siap untuk ditugaskan didaerah yang berkonflik. Hal itu tujuannya adalah utnuk melindungi negara, dan militer sangat baik dalam menjalankan tugas tersebut. karena bagi dia, pengabdian terhadap bangsa dan Negara sangatlah penting bagi mereka dengan seperti itu, maka merek bisa untuk meneruskan jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia. Keadaan militer yang baik harus didukung oleh pemerintah yang peduli juga terhadap militer, walaupun sebenarnya juga sudah mengabdi terhadap nusa dan bangsa, namun alangkah baiknya jika hal itu juga didukung oleh pmerintah agar semangat perjuangan mengabdi mereka juga semakin baik.
Tumbunya nasionalisme di Indonesia
Karena adanya faktor pendukung diatas maka di Indonesiapun mulai muncul semangat nasionalisme. Semangat nasionalisme ini digunakan sebagai ideologi/paham bagi organisasi pergerakan nasional yang ada. Ideologi Nasional di Indonesia diperkenalkan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. PNI bertujuan untuk memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia yang bebas dari penjajahan. Sedangkan cita-citanya adalah mencapai Indonesia merdeka dan berdaulat, serta mengusir penjajahan pemerintahan Belanda di Indonesia. Dengan Nasionalisme dijadikan sebagai ideologi maka akan menunjukkan bahwa suatu bangsa memiliki kesamaan budaya, bahasa, wilayah serta tujuan dan cita-cita. Sehingga akan merasakan adanya sebuah kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok bangsa tersebut.
Perkembangan Nasionalisme di Indonesia
Sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme di Indonesia diawali dengan pembentukan identitas nasional yaitu dengan adanya penggunaan istilah “Indonesia” untuk menyebut negara kita ini. Dimana selanjutnya istilah Indonesia dipandang sebagai identitas nasional, lambang perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan. Kata yang mampu mempersatukan bangsa dalam melakukan perjuangan dan pergerakan melawan penjajahan, sehingga segala bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia bukan atas nama daerah lagi.
Istilah Indonesia mulai digunakan sejak :
- J.R. Logan menggunakan istilah Indonesia untuk menyebut penduduk dan kepulauan nusantara dalam tulisannya pada tahun 1850.
- Earl G. Windsor dalam tulisannya di media milik J.R. Logan tahun 1850 menyebut penduduk nusantara dengan Indonesia.
- Serta tokoh-tokoh yang mempopulerkan istilah Indonesia di dunia internasional.
- Istilah Indonesia dijadikan pula nama organisasi mahasiswa di negara Belanda yang awalnya bernama Indische Vereninging menjadi Perhimpunan Indonesia.
- Nama majalah Hindia Putra menjadi Indonesia Merdeka
- Istilah Indonesia semakin populer sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Melalui Sumpah Pemuda kata Indonesia dijadikan sebagai identitas kebangsaan yang diakui oleh setiap suku bangsa, organisasi-organisasi pergerakan yang ada di Indonesia maupun yang di luar wilayah Indonesia.
- Kata Indonesia dikukuhkan kembali dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Secara garis besar Nasionalisme pada masa Orde Baru adalah Orba menafsifrkan nasionalisme dengan corak sentralisme birokratik yang jauh lebih ekstrim dari masa sebelumnya. Dengan legitimasi memulihkan stabilitas nasional, orde ini mempunyai ciri pokok, yaitu :
- Secara ekonomi membuka kran modal asing
- Secara politik menjalankan otoritarianisme yang militeristik
Otoriteriarisme yang secara militeristik dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Pengendalian politik sipil oleh militer, pemsungan kebebasan berorganisasi dan berekspresi, dan sentralisme pemerintaha yang luar biasa mengendalikan politik daerah telah mengkorup Indonesia sebagai “proyek bersama”
- Nasionalisme Orde Baru adalah sesuatu yang anti dialog dan anti demokrasi. Kemdali politik birokratis-militeristik ini telah menempatkan “state” menjadi apa yang ada dalam istilah Hobbesian sebagai Leviathan, sesuatu yang besar dan menakutkan
- Orde ini juga telah menciptakan militer sebagai kasta politik terpenting dan mengecilkan peran masyarakat sipil. Sentralisme rezim otoriter militeristik, pergolakan daerah seperti Aceh, Timor Timur, dan Papua menjadi sangat gelap, berdarah-darah, dan menyisakan trauma politik yang panjang.
- Strategi integrasi nasional gaya Soeharto adalah mengencangkan kendali birokrasi dan militer sebagai agen nasionalisme.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, Predsiden Soeharto menyebarkan rasa nasionalisme kepada masyarakat Indonesia dengan berbagai macam cara. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan cara menghargai produk-prodk dalam negeri. Dengancara yang seperti itu, otomatis masyarakat Indonesia akan mempunyai rasa cinta tanah air yang lebih tinggi dibandingkan dengan kita memakai produk dari luar negeri. Walaupun ada juga sebagian dari masyarakat kita yang pada masa itu menggunakan produk luar negeri, namun pada masa pemerintahan Soeharto masyarakat Indonesia disuruh untuk lebih menghargai produk dari negeri sendiri.
Selain untuk menghargai dan menumbuhkan semangat nasionalisme, hal tersebut juga berfungsi sebagai penambah pemasukan dalam negeri agar membantu perekonomian dalam negeri juga, karena keberhasilan pememrintahan Soeharto pada masa itu salah satunya juga dalam bidang ekonomi. Pada masa pemerintahan Soeharto perolehan GDP meningkat drastis, yang dulunya sempat mengalami inflasi cukup besar, namun Soeharto mampu untuk mengendalikannya.
Hal-hal yang diperjuangkan pada masa Orde Baru, yang bersifat nasionalisme adalah:
- Sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala penyimpangan dan penyelewengan terhadap pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
- Masyarakat yang adil dan makmur, baik materiil maupun spiritual melalui pembangunan.
- Siap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat serta melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Melalui hal-hal yang diperjuangkkan itu, Orde Baru menghendaki tata pikir yang lebih nyata dan tepat guna tanpa meninggalkan idealisme perjuangan, mengutamakan kepentingan nasional.
2. Militer
Sebagai tindak lanjut keluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnal Jendral Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta Ormas-Ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia. Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Panglima Tinggi ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia bersama Ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam Gerakan 30 September dan diragukan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966. Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September. Militer sejak awal terlibat dalam politik. Sejak awal kelahirannya, militer Dilibatkan dalam urusan sosial politik yang umumnya menjadi porsi kerja para politisi sipil. Keerlibatan militer dalam perjuangan pembebasan nasional kerap kali dijadikan justifikasi bagi peranan politik yang besar ini.
Sejak pembentukannya, militer Indonesia telah memaklumkan diri sebagai sebuah partai politik sama halnya dengan kekuatan militer, dan semua militer melihat dirinya dalam peran “pengawal” yang sebenarnya, tapi pada akhirnya menuntut hak-haknya untuk terus berpartisipasi dalam kehidupan politik. Orientasi politik pada para perwira menjadi hanya sebagai kelompok yang mudah menerima gagasan untuk secara aktif ikut serta dalam peristiwa-peristiwa kenegaraan.
Peran TNI dalam Bidang Politik
Di masa Orde Baru, peran militer jauh melampaui peran spesifiknya di bidang pertahanan dan keamanan nasional. Biasanya, keterlibatan militer di bidang politik disebut dengan intervensi. Akan tetapi, begitu besarnya peran militer di Indonesia sehingga istilah "intervensi" tampak teramat sederhana dan tidak dapat mencerminkan besarnya skala dan cakupan peran militer tersebut.
Pada sisi lain, baik pada Orde Baru maupun Orde Lama, para politisi cenderung memanfaatkan militer untuk kepentingan politik. Dengan demikian, proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia diharapkan menyehatkan hubungan sipil-militer dari kedua belah pihak. Artinya, supremasi sipil tetap ditegakkan, tetapi kalangan sipil juga harus bertekad menghindari penggunaan militer untuk kepentingan politik.
Peranan TNI dalam bidang politik dimulai dengan dikenalkannya politik pada tentara yaitu pada masa kabinet Amir Syarifudin. Pada masa itu, TNI dibagi ke dalam dua bagian, yaitu Deaprtemen pertahanan dan TNI Mobil. Departemen pertahanan ini dipimpin langsung oleh Amir Syarifudin, sedangkan TNI Mobil Dipimpin oleh Sudirman. Dalam Departemen Pertahanan inilah pendidikan politik pada TNI diberikan. Sejak itulah TNI mulai mengenal dunia politik.
Pada tahun 1965, tepatnya 1 oktober 1965, TNI melakukan kudeta militer terhadap Presiden Soekarno. Akan tetapi, kudeta tersebut tidak terlaksana dan hanya sekedar domonstrasi bersenjata saja di depan Istana Negara. Salah satu faktor penyebab terjadinya peristiwa itu adalah adanya keinginan pihak TNI untuk dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan politik. Namun, hal tersebut ditolak oleh Soekarno.
Salah satu di antara peran non-pertahanan yang dimainkan oleh TNI adalah peran sosial-politik. Melalui konsep kekaryaan, peran militer yang mencolok dibuktikan dengan banyaknya perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan politik dan pemerintahan. Perwira-perwira militer, termasuk yang aktif, mulai dari menjadi kepala desa/ lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, sampai menjadi menteri. Bahkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pernah diisi oleh orang militer secara bersamaan. Selain itu, militer menduduki jabatan-jabatan lain yang seharusnya diduduki oleh birokrat sipil mulai dari kepala dinas, kepala kantor departemen, inspektur jenderal, direktur jenderal, sampai sekretaris jenderal. Selain itu, militer juga mengisi kursi di lembaga legislatif dan memiliki fraksi tersendiri yakni fraksi ABRI, baik di DPR maupun DPRD, yang diperoleh melalui penjatahan, bukan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Jumlah kursi di DPR yang dijatahkan untuk militer pernah mencapai 100 kursi, kemudian dikurangi menjadi 75, dan sekarang menjadi 38.
Tidak cukup sampai di situ saja, militer juga hadir di badan-badan ekonomi seperti Badan Usaha Milik Negara dan koperasi. Organisasi politik, organisasi kepemudaan, dan organisasi kebudayaan serta olahraga juga terbuka bagi militer. Praktek penjatahan jabatan-jabatan sipil yang diberikan kepada militer, baik di tingkat pusat maupun daerah, berjalan lancar. Lebih lanjut lagi, praktek yang tidak selaras dengan spesialisasi fungsi militer tadi, didukung dan dibenarkan dengan mengeksploitasi tafsiran-tafsiran historis, ideologis, dan konstitusional. Disebutkan bahwa peran yang dominan itu selaras dengan fakta bahwa militer adalah tentara rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Konsekuensinya, dikotomi sipil-militer tidak dikenal dalam sistem politik Indonesia dan kedudukan militer dalam jabatan-jabatan sipil dapat dibenarkan.
Secara ideologis, militer mengedepankan dan mensosialisasikan dwifungsi ABRI sebagai alasan bagi perangkapan fungsi militer dan penguasaan militer atas posisi-posisi politik, sosial dan ekonomi. Argumen konstitusional juga diberikan dengan menyalahgunakan pasal 2 UUD 1945 sehingga militer dianggap termasuk ke dalam kategori “golongan” yang berhak duduk di lembaga legislatif. Peran militer yang dominan seperti terjadi pada masa Orde Baru tentu saja menimbulkan berbagai dampak yang negatif dan destruktif dilihat dari pembinaan tatanan politik yang demokratis. Dominasi militer bukan hanya di birokrasi sipil saja tetapi juga militerisasi masyarakat sipil, misalnya pembentukan resimen mahasiswa dan lembaga-lembaga paramiliter sebagai bagian dari organisasi massa. Sebagai akibatnya, di kalangan masyarakat sipil muncul budaya dan perilaku yang militeristis. Akan tetapi, hal tersebut tidak sepenuhnya negatif dan destruktif, ada pula sisi positif yang bisa diambil dari dibentuknya organisasi masa yang berbasis militer tersebut, yaitu dengan tumbuhnya rasa nasionalisme yang tinggi pada kaum muda, yang saat ini rasa nasionalisme pada jiwa kaum muda bangsa Indonesia sudah minim sekali.
Disamping itu juga, dominasi politik TNI mendorong bangsa dan negara Indonesia ke arah disintegrasi. Walaupun hal ini menjadi masalah di seluruh Indonesia, gejalanya terlihat paling jelas di Timor Timur, Aceh dan Ambon. Keadaan ini sungguh ironis mengingat bahwa selama ini TNI menganggap dirinya sebagai kekuatan pemersatu bangsa dan negara. Reformasi posisi dan peran militer tersebut perlu dilaksanakan, dan dilaksanakan sesegera mungkin, berdasarkan anggapan bahwa fungsi militer perlu dikembalikan ke bidang pertahanan saja. Sebab, militer sebagai alat negara terbentuk supaya di dalam struktur negara ada badan yang diberi wewenang untuk memonopoli penggunaan senjata. Itulah sebabnya, prinsip dan praktek demokrasi mengharuskan militer menjadi alat negara yang menjalankan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan, sedangkan kebijakan itu dibuat oleh pihak lain seperti pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk secara demokratis.
Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa, apabila monopoli tersebut gagal atau bermasalah, akan terjadi beberapa kemungkinan yang tidak diinginkan oleh masyarakat dan militer sendiri yang ingin hidup tenteram dan demokratis. Salah satu di antaranya adalah militer yang kebal hukum, yaitu dimana militer menyalahgunakan monopoli tersebut, tetapi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer tidak diusut dan diadili dengan tuntas. Dua kemungkinan lain adalah pecahnya perang saudara, yaitu ketika suatu unsur masyarakat melanggar prinsip monopoli di atas dan menggunakan kekerasan senjata terhadap unsur masyarakat lain, dan pemberontakan, yaitu bila suatu unsur masyarakat melanggar monopoli tersebut dan menggunakan kekerasan senjata melawan pemerintah. Biasanya, dalam situasi ketika monopoli tersebut terancam, militer dihadapkan pada berbagai persoalan seperti demoralisasi, perpecahan internal, dan gangguan pada hirarki komando. Oleh karena itu, reformasi posisi dan peran TNI sebagai bagian dari proses demokratisasi di Indonesia adalah demi kebaikan TNI pula.
Fenomena di atas telah sering dipertanyakan di masa lalu. Namun, sistem otoriter yang kaku tidak memungkinkan adanya perubahan yang mendasar. Dalam era reformasi ini, suara dan desakan dari masyarakat semakin keras menuntut adanya reformasi posisi dan peran militer menuju kehidupan yang demokratis di Indonesia. Tuntutan tersebut dijawab oleh TNI dengan “Paradigma Baru-nya”. Pelaksanaan paradigma tersebut telah membawa dampak yang cukup positif. Misalnya, TNI memutuskan hubungan historisnya dengan Golkar dan bersikap cukup netral dalam pemilu yang lalu. Proses reformasi kepolisian juga dimulai dengan dipisahkannya POLRI dari ABRI. Contoh lain adalah kebijakan baru yang mengharuskan anggota aktif TNI yang menduduki jabatan sipil untuk memilih kembali ke satuannya atau pensiun. Namun, di sisi lain, paradigma itu dinilai tetap mempertahankan peran sosial-politik TNI, walaupun pada tingkat intensitas yang lebih rendah. Di samping itu, pelaksanaan paradigma itu terkesan lebih merupakan upaya TNI untuk memperbaiki citranya daripada menyelesaikan persoalan yang sebenarnya. Akan tetapi, sudah ada usah dari pihak TNI untuk memperbaiki funfsi dan tugasnya, walaupun itu hanya untuk sekedar merubah citra belaka, yang terpenting, sudah ada perubahan dalam tubuh TNI, sehingga dominasi TNI dalam bidang politik akan semakin berkurang, dan suatu saat nanti harus sama sekali habis. Oleh karena itu, kehadiran Paradigma Supremasi Sipil ini dirasakan perlu untuk lebih memperluas wacana publik mengenai penataan kembali hubungan sipil-militer di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999. Dengan demikian, sangat diharapkan bahwa rekomendasi yang terkandung dalam cetak biru ini dapat diwujudkan dalam ketetapan MPR, sebagai landasan kebijakan pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Pada tahap-tahap awal Orde Baru, mengkonsolidasi kesatuan didalam Angkatan Bersenjata merupakan prioritas utama angkatan Darat. Ini berarti bahwa persaingan antar dinasperlu dikurangi dan korps perwira yang lebih homogen dengan kesetiaan kepada Orde yang baru berdiri perlu diciptakan. Konsolidasi merupakan prioritas karena dengan adanya keterlibatan unsur-unsur beberapa divisi dan bagian-bagian angkatan dalam usaha kudeta, karena dengan adanya kesetiaan yang langgeng yang ditunjukkan banyak perwira kepada Soekarno. Angkatan Udara dibebaskan total karena keterlibatan perwira-perwira yang terkemuka dalam usaha kudeta, namun Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian yang tidak seberapa terlibat dalam kudeta tidak bisa semudah itu dibersihkan dari para Soekarnois. Dalam bulan Oktober 1969, kerika Angkatan Darat sudah mantap mengkonsolidasi posisinya dan Soeharto akhirnya menggantikan Soekarno, Mayor Jendral Sumitro dalam kapasitasnya sebagai Kepala Departemen Pertahanan dan keamanan mengemukakan sebuah program reintegrasi untuk Angkatan Bersenjata. Tujuannya ialah mengakhiri kemandirian operasional setiap angkatan. Komando operasional semua angkatan dialihkan ke Presiden Soeharto sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Dalam usahanya membersihkan masyarakat Indonesia dari pengaruh politik, Murtopo berpendapat bahwa ideologi adlah akar dari semua kekacauan Indonesia di masa lalu, dan oleh karenanya ideologi perlu disingkirkan dari politik. Letnan Jendral Murtopo mengajukan Pancasila sebagai bentuk ideologi pengimbang. Militer akan membela ideologi itu sesuai dengan tujuan Letnan JendralMurtopo untuk Mendepolitisasi politik Indonesia. Sebetulnya ketakutan pada ideologi ekstrem buknlah fenomena yang semata-mata milik Orde Baru.
3. Otoriter
Masa pemerintahan Presiden Soeharto diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 stelah Presiden Soekarno menyerahkan Supersemar tersebut. Dan masa Orde Lama berakhir berganti dengan masa Orde Baru. Pada masa pemerintahan presiden Soeharto – Orde baru masa pemerintahan tersebut sangat otoriter, semua rakyat harus tunduk patuh pada pemerintah. Tidak boleh ada pemberitaan terntang pemerintah. Pada masa itu pers sangat dibatasi oleh pemerintah. Pemerintah lebih suka mengembangkan sayapnya tanpa melalui pers. Dan juga tidak boleh ada yang menjatuhkan pemerintah, tidak boleh ada yang mengkritik tentang kinerja pemerintah. Karena pada dasarnya sudah di atur semua oleh pemerintah. Pemerintahan pada masa Orde baru memang bisa dikatakan pemerintahan yang otoriter, karena pada masa pemerintahan presiden Soeharto hanya beliau yang boleh mengatur segala sesuatu yang ada dalam pemerintahan. Pada awalnya sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian, dan kemampuan untuk mengambil inisiatif dan keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya srta konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.Tahun-tahun pemerintahan Soeharto diwarnai dengan praktik otoriter dimana tentara memiliki peran dominan didalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik disamping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindasselama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan negeri dengan pembatsan jumlah partai politik, penerapan sensor, dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Goljar. Pada masa Orde Baru, gaya kepemimpinannya adalah otoriter/militeristik. Seorang pemimpin yang otoriter akan menunjukkan sikap yang menonjolkan keangkuhannya dengan cara kecenderungannya memperlakukan bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka dan mempengaruhi orang banyak.
Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gata kepimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh kedepan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Pada masa awal pemerintahan Soeharto dinilai sangat tepat untuk menetapkan pemerintah yang Otoriter, namun setelah tahun 1980-an sistem pemerintah yang otoriter tersebut dinilai sangat kurang tepat karena keadaan Indonesia sudah sangat berubah. Awal pemerintahan Soeharto dinilai tepat dengan sistem pemerintahan otoriter karena pada saat itu Indonesia sedang bergolak. Setelah tahun 1980-an Indonesia sudah mulai stabil lagi dari pergolakan tersebut.
Masyarakat semakin cerdas da semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan seperti itu masa pemerintahan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat.. untuk tetap mempertahankan kekuasaanya Soeharto menggunkan cara-cara yang represif pada semua pihak yang melawannya.
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang menjadi pusat kekuasaan pemerintah dan negara. Media cenderung menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang lebih suka berada dilokasi pusat kekuasaan , di Jakarta sebagai Ibukota Negara. Meskipun ia sering melakukan perjalanan dinas dan pribadi/keluarga, baik didalam maupun diluar negeri, media lebih sering menyajikan liputan tentang aktivitas kmunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto di Jakarta.
Penggambaran media yang demikian tentang Presiden Soeharto diperkuat dengan penggambaran bahwa ketika di Jakarta Presiden Soeharto lebih sering berada di Istana Negara atau Istana Merdeka dibanding ditempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi sebagai simbol kekuasaan dirinya sebagai pemimpin tertinggi dalam organisasi pemerintahan negara, dan organisasi-organisasi lainnya. Bahkan, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang sering berada di Istana dibanding di Bina Graha, kantor atau tempat ia biasanya bekerja.
Dilihat dari Orientasinya pada pemeliharaan hubungan Presiden Soeharto cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert (1961) disebut “Explorative authoritative”, kurang demokratis. Selain itu Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap peryataan orang lai dibandingkan menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri.
Presiden Soehart digambarkan sebagai seorang pemerintah yang otoriter, yang menerapkan gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto cenderung ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional. Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar pemerintah dan instruksi yang disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain berisi permintaan agar keselamatan dan keselamatan pembangunan nasional selalu diprioritaskan.
Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden Soeharto ketika meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah perlunya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan stabilitas politik, upaya menciptakan masyarakat adil dan makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang otoriter mempunyai beberapa kekurangan dan kelebihan selama beliau memimpin di negeri ini. Kekurangan yang ada pada masa pemerintahan Orde Baru adalah Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijkan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelahIndonesia diterima pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadap modal asing. Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Lama. Pengucilan politik- di Eropa Tmur sering disebut Iustrasi- dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminak dilakukan dengan menggelarMahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadlan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau Buru.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1996 dankonsep akselerasi pembangnan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merekonstrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa terapainya stabilitas politik pada satu sisi pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dengan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto warga Tionghoa juga dilarang untuk berekspresi. Sejak tahun 1967, warga kerunan dianggap sebagai warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkn oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditukis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberikan izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga disana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintahan Orde baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluran rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang ajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada masa pemerintahan Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan “persatuan dan kesatuan bangsa”. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali, dan Madura ke Luar Jawa terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jiwanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa diberbagai daerah, meskipun tidak semua Transmigran itu orang Jawa.
Gaya kepemimpinan tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan masa presiden Soeharto secara umum adalah otoriter, dominan, dan sentralis. Dari periode ke periode kekuasaan Presiden Soeharto digambarkan sebagai Kepala Negara, sebagai pudat kekuasaan politik di Indonesia. Perilaku kepemimpinan Presiden Soeharto ada yang berorientasi pada hubungan, tetapi juga ada yang berorientasi pada tugas. Gaya kepemimpinan yang otoriter, kurang demokratis, mengutamakan hubungan dengan digambarkan sebagai gaya kepemimpinan yang otoriter, krang demokratis, mengutamakan hubungan dengan para menteridan pejabat dibawahnya, serta fleksibel: dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan situasi dan kondisi. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas direpresentasikan sebagai gaya kepemimpinan penuh perhatian pada pembangunan dalam lingkup nasional, tidak membedakan pembangunan daerah pedesaan dengan perkotaan meskipun hanya berorientasi pada pembangunan sektor ekonomi saja. Selain itu caranya mempengaruhi orang lain, gaya kepemimpinan Prsiden Soeharto oleh media juga digambarkan sebagai gaya yang cenderung otooriter. Meskipun menggunakan kata-kata atau kalimat netral, tidak bersifat persuasive atau coercice, dan diikuti dengan penjelasan secukupnya. Sebagai seorang pemimpin, presiden Soeharto juga digambarkan sebagai seorang yang tidak suka menonjolkan diri.
Walaupun pada masa pemerintahan Soeharto 32 tahun, namun memberikan dampak yang cukup tragis bagi bangsa Indonesia, yaitu banyak kemelaratan yang terjadi pada masa pemerintahan ini. Maka dari itu masyarakat menyebutnya kolonialisme Orde Baru, karena rakyat sangat merasakan penindasan akibat masa pemerintahan Orde Baru. Masa pemerintahan Orde baru dirasakan cukup berat bagi masyarakat Indonesia cukup berat, apalagi masyarakat yang berada diluar Pulau Jawa. Meraka merasakan ketidakadilan yang dirasakan, yang akhirnya menumbuhkan benih-benih gerakan disintegrasi hingga perusakan barang-barang fisik Indonesia yanng menyebabkan retaknya bangunan nasionalisme Indonesia.
Sifat otoriter dan rasis yang ditunjukkan oleh Presiden Soeharto kepada para mahasiswa adalah pengekangan pergerakan pelajar dan mahasiswa. Organisasi dan pergerakan mahasiswa pun dikekang dimasa Orde baru ini. Mahasiswa diarang berkumpul dalam organisasi kemahasiswaan, apalagi berbau politik dan pergerakan. Kampus-kampus diimbau untuk hanya mengadakan organisasi mahasiswa yang mengusung pengembangan minat dan bakat mahasiswa dibidang olah raga dan seni. Pada tahun 1970, terjadi demonstrasi besar dan meluas oleh para pelajar dan mahasiswa untuk melawan korupsi yang sebenarnya tercium ditahun-tahun tersebut. Respon Soeharto terhadap demoonstrasi adalah melarang keras pelajar dan mahasiswa turun ke jalanan.
Ada hal lain yang menunjukkan sifat otoriter yang dimiliki oleh Presiden Soeharto, hal tersebut cukup membuat kaget ataupun tercengang bagi sebagian orang. Yang dimaksud disini adalah pelarangan jilbab dan pembantaian umat muslim, yah sebagian orang pasti akan tercengang dengan pernyataan tersebut. Ditahun 1980-an, kesadaran umat muslim Indonesia untuk menerapkan kehidupan Islam dalam kegiatan sehari-hari sempat menimbulkan Islamphobia dikalangan masyarakat Indonesia. Soeharto menyebarkan paham bahwa Islam dapat merusak Pancasila dan menganggu stabilitas Politik. Lebih jauh lagi, Presiden Soeharto mengeluaran peraturan yang melarang musimah mengenakan jilbab. Meraka yang berjilbab dianggap pesakitan., orang aneh, bahkan oang yang berpenyakit dan dapat menularkan penyakitnya. Bahkan pda tahun 1984, sepat terjadi pembantain umat muslim dikawasan TanjungPriok, Jakarta. Tragedi ini dinamai Tragedi Tanjung Priok berdarah. Saat itu, pemerintah mengerahkan pasukan militernya untuk melawan umat muslim tanpa senjata, yang berusaha mengaplikasi nilai-nilai Islami dalam kehidupannya. Mereka yang melakukan pengajian ditembaki, perempuan berjilbab dibunuhi. Ini adalah bentuk genosida terencana yang pernah dilakukan oleh Soeharto dimasa pemerintahan otoriternya.
4. Ekonomi
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, program yang disusun sudah jelas arahnya untuk kepentingan apa. Salah satu untuk kepentingan Ekonomi yaitu Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), hal ini dilakukan karena pada masa awal kekuasaan pemerintahan Presiden Soeharto Indonesia sudah mengalami kemerosotan ekonomi yang ditinggalkan dari pemerintahan sebelumnya. Kemerosoan ini ditandai dengan pendapatan perkapita penduduk Indonesia hanya mencapi 70 dollar AS. Untuk mengatasinya Presiden Soeharto membuat rencana jangka pendek yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebuthan sandang.Program ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiata ekonomi akan pulih dari priduksi akan meningkat. Barulah pada tahun 1969 pemerintah mulai menciptakan landasan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), repelita pertama kali fokus krpada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim usaha dan investasi. Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor yang lainpetani juga dibantu melalui penyediaan sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi. Repelita I cukup membawa hasil bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6.7% Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar didunia pada tahun 1970-an. Fokus pada repelita IV dan V, selain berusaha mempertahankan kemajuan disektor pertanian juga mulai bergerak menitik beratkan pada sektor industri khususnya Industri yang menghasilkan baranag ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri. Namun pada awal masa pemerintahan Soeharto, stok produksi beras masa Indonesia baru mencapai 12,2 juta ton. Jumlah ini sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Soeharto berpedoman, “yang penting rakyat bisa makan” (mungkin demikian juga prinsip korupsi, yang penting rakyat masih bisa makan, jadi tak masalah) kemudian berhasil menciptakan rekor yang fantastis. Pada masa Pelita ketiga dalam pemerintahan Orde baru terdiri atas delapan jalur pemerataan, yaitu
- Pemerataan pemenuhan kebutuhan utama rakyat yakni kebutuhan pangan, sandang dan kebutuhan tempat tinggal atau perumahan.
- Pemerataan kepempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
- Pemerataan pembagian pendapatan
- Pemerataan kesempatan kerja
- Pemerataan kesempatan berusaha
- Pemerataan kesempatan berpartisipasi dibidang pembangunan terhadap generasi-generasi bangsa yakni generasi muda dan generasi kaum wanita
- Pemerataan penyebaran pembangunan diseluruh wilayah tanah air
- Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Barangkali karena beliau berasal dari keluarga petani sehingga cerdas sekali dalam urusan lumbung makanan penduduk. Tak perlu menunggu 20 tahun, pada tahun 1980an Indonesia berhasil berswasembada pangan. Pada 1984, produksi beras Indonesia berhasil menembus angka 25,8 juta ton! Dalam sekecap (rentang waktu yang cukup cepat) Soeharto berhasil menyulap Indonesia yang awalnya menjadi salah satu pengimpor beras terbesar dunia, menjadi negara yang surplus beras. Hal inilah yang membuat Soeharto diberi medali emas oleh FAO, organisasi pangan dan pertanian dunia dibawah PBB pada 21 Juli 1986.
Lebih hebat lagi, pada masa Soeharto Indonesia juga pernah mengekspor beras. Hal ini tercatat pada November 1985, Soeharto menyerahkan bantuan 1 juta ton gabar untuk rakyat Afrika yang kelaparan Swasembada Beras pada masa awal Orde Baru menitik beratkan fokusnya pada pengembangan sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi dan politik sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian sebagai irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian hingga penyuluhan bisnis. Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di tahun 1992. Untuk program kelahiran juga berhasil dikendalikan melalui program Keluarga Berencana (KB).
Disamping kebijakan ekonomi yang sudah mulai menunjukkan hasil, ternyata kita melihat ada faktor eksternal yang sangat berperan disini. Ada kenaikan harga minyak dunia ditahun 1973-1974, dan ini kemudian berlanjut hingga tahun 1981 Bonanza minyak ini sudah pasti telah memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintahan Soeharto. Tingginya porsi ekspor minyak bumi dan gas alam (migas) yang lebih dari 60% dipertengahan tahun 1970-1n menyebabkan Indonesia menjadi negara yang kaya secara mendadak saat itu karena pendapatan ekspor migas tersebut.
Selama pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP 1), 1970-1995, melalui berbagai sektor pembangunan, dicatat berbagai langkah dan kebijakan telah dilakukan untuk menaggulangi kemiskinan, walaupun kegiatan tidak menggunakan istilah kemiskinan, tapi misalnya muncul istilah pembangunan daerah rawan, rentan, kritis dan lain-lain.
Berdasarkan catatan yang ada, harus diakui, bahwa sejak tahun 1976 jumlah kaum miskin di Indoesia teah turun sebesar 31,7 juta jiwa. Demikian juga dengan angka head count index, dalam periode waktu yang sama menunjukkan, presentase penduduk miskin telah turun dari 40,08% menjadi 11,34% dan penurunan absolute terbesar telah terjadi diwilayah pedesaan. Keberhasilan pada pemerintahan Orde Baru dalam program pengentasan kemiskinan sudah diakui oleh berbagai lembaga termasuk lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Bahkan sebagi mana banyak dikatakan orang, turunnya angka kemiskinan absolut dan prosentase penduduk miskin secara drastis merupakan mukjizat yang diperoleh pada masa Orde Baru. Pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru pada dasarnya sudah melakukan berbagai upaya penaggulangan kemiskinan semenjak dasarwa 1970-an. Sekurang-kurangnya ada tiga corak usaha untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, yaitu pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar, pendekatan pemberdayaan masayarakat, dan pendekatan berbasis hak.
Aspek yang diangga penting dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat atau pendekatanpembangunan berbasis komunitas adalah adanya usaha untuk mengurangi kesenjangan sosial dengan meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia, terutama pada kelompok-kelompok masyarakat yang merupakan penduduk miskin. Upaya-upaya yang ditempuh di dlam pendekatan ini melalui pembangunan infrastruktur pedesaan, distribusi aset ekonomi dan modal usaha/kerja penguatan kelembagaan masyarakat. Atas dasar kondisi yang memprihatinkan tersebut Presiden Soehato yang memimpin pemerintahan Orde Baru mengambil berbagai langkah kebijakan dan tindakan utnuk mencoba mengatasi dan memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia yang memang sudah parah saat itu.
Lampiran Sinopsis Buku dan Artikel
Militer dan SoehartoMiliter pada masa Soeharto sangat berpengaruh dalam masa pemerintahannya. Pada masa pemerintahan Soeharto militer sangat difasilitasi kebutuhannya, hal itu bertujuan untuk menguatkan angkatan atau militer. Militer sangat mendukung masa pemerintahan Soeharto, karena doktrin Soeharto kepada militer sangat kuat. Bukan hanya itu saja, pada masa pemerintahan Soeharto militer sangatlah kuat, seperti halnya mempertahankan Timor-Timur. Kekuatan utama militer pada saat itu lebih didominasi oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Pada masa pemerintahan Soeharto militer juga memberikan dukungan penuh terhadap pemerintahan Soeharto. Hal itu dibuktikan pada masa setelah PKI 1965, pada saat itu militer sangat tunduk patuh terhadap pemerintahan Soeharto. Karena pada masa itu Soeharto yang membantu penumpasan peristiwa G30S/PKI yang menggugurkan tujuh pahlawan revolusi. Bukan hanya itu saja, setelah peristiwa itu Soeharto diangkat menjadi Mayor Jendral Besar TNI-AD. Maka dengan itu Soeharto makin kuat kekuasaannya dan para anggota militer makin memberikan dukungan kepada Soeharto. Dengan seperti itu militer mempunyai perlindungan penuh dari presiden pada masa itu.
Hubungan antara militer dan Soeharto bukan hanya terjadi pada masa G30S/PKI saja, namun diluar hal itu juga terjalin cukup baik. Bahkan sampai saat ini juga Soeharto namanya masih harum didalam militer, terutama namanya masih harum dan akan tetap harum di hati para TNI-AD karena Mayor Jendral Besar mereka atau panutan mereka adalah Presiden Soeharto. Karena pada masa pemerintahan Soeharto dulu yang mendapat pengaruh paling besar juga para anggota TNI-AD, karena bagaimanapun juga Soeharto namanya menjadi besar juga atas TNI-AD.
Masa pemerintahan Soeharto juga memberikan kekuatan tersendiri bagi militer, kekuatan untuk menghadapi musuh besar dari bangsa barat. Jika kekuatan militer itu diperbaiki maka akan dengan sendirinya militer atau keadaan bangsa Indonesia menjadi terlindungi karena dengan diperkuatnya angkatan dari semua angkatan atau militer pada masa pemerintahan Soeharto sangat kuat. Bukan hanya itu saja, pemerintah Soeharto mempunyai alasan tersendiri mengapa beliau memprioritaskan militer pada masa pemerintahannya. Karena kalau militer kuat, otomatis semua akan aman, karena kekuatan utama Indonesia ada pada militer. Maka dari itu alasan Soeharto untuk memperkuat militer sangatlah tepat.
Militer pada masa orde baru selalu bertumpu pada politik yang mana pada masa itu militer sangat berpengaruh terhadap negara, karena pada masa itu militer dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menopang pemerintahan pada masa itu agar pemerintahan kuat dalam segi pertahanan. Maka dari itu pada masa orde baru militer juga berperan sebagai politik yang sangat mendukung tentang pemerintahan pada masa itu. Kerja sama antara militer dan pemerintah pada masa orde baru sangatlah kuat, maka dari itu munculah beberapa barisan militer pada masa orde baru. Seperti halnya saat militer dijadikan arbitator atau wasit politik : dalam keadaan pemerintahan sipil menghadapi krisis, militer dijadikan penengah untuk mengatasi dan mengendalikan krisis. Misal melalui pemberlakuan umdang-undang darurat perang. Biasanya setelah menjadi wasit, militer akan melepas peranan politiknya dengan memanfaatkan peran kewasitannya. (penjelasan dalam buku bisnis militer orde baru; halaman 16)
Soeharto dan Barisan Jendral Orba”
Buku ini rinci mengupas sepak terjang dan kepiawaian Soeharto sebagai dalang jendral-jendralnya yang sangat setia mendominasi kelompok elite Orde Baru. Dikisahkan bagaimana Soeharto memainkan mereka dalam perang melawan barisan jendral sakit hati yang menentang kekuasaan Orde Baru, entah karena tak kebagian jatah “kue kekuasaan” atau dianggap tidak sejalan. Termasuk perang terhadap kelompok Islam politis yang dianggap Soeharto sebagai musuh bersama. David Jenkins yang tulisannya pada 1986 menggemparkan karena membuka borok Soeharto dan bisnis keluarganya, mengerahkan segudang data dan menyajikan beragam wawancara, bahkan dengan para jendral yang berada di lingkar dalam Soeharto maupun yang tergolong pembangkang. Berbagai data akurat termasuk yang “top secret” berhasil ia peroleh berkat kepiawaiannya sebagai sarjana dan wartawan kawakan. Hasilnya uraian sejarah yang secara gamblang menggambarkan kekuasaan rezim militer yang penuh intrik, rekayasa dan tipu daya.
Karya yang sangat mengesankan. Perpaduan terbaik antara analisis sejarah dan penjelasan politik militer. Buku ini akan bertahan bertahun-tahun sebagai kunci mengenai Orde Baru.
Kisah Buruk Soeharto di mata Subandrio
Buku memoar tersebut adalah bentuk pembelaan Subandrio terhadap tudingan sepihak yang dialamatkan kepada dirinya: terlibat G30S. Tudingan itu sungguh pahit. Tidak hanya karena Subandrio harus mendekam di penjara selama 30 tahun, tetapi juga harus memikul aib sebagai penghianat bangsa.
Namun, melalui memoarnya tersebut, Subandrio melancarkan serangan balik ke Soeharto. Ia menuding Soeharto justru telah melakukan kudeta merangkak terhadap kekuasaan Soekarno. Tak hanya itu, buku setebal 80 halaman itu juga membeberkan cacat Soeharto. Menurut Soebandrio, Soeharto punya rekam jejak yang buruk jauh sebelum peristiwa G30S. Yang pertama, semasa di divisi Diponegoro, Soeharto menjalin relasi dengan pengusaha tionghoa, Liem Sioe Liong. Keduanya menjalankan bisnis penyelundupan berbagai barang.
Saat itu, kata Soebandrio, Soeharto berdalih bahwa bisnis penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. “Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya,” ujar Soebandrio. Belakangan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan Kodam Diponegoro, melainkan untuk kepentingan pribadi Soeharto dan Liem. “Duitnya masuk ke kantong Soeharto dan Liem,” kata Soebandrio.
Kabar itu berhembus kemana-mana. Kata Soebandrio, ketika berita itu mencuat, Jenderal Ahmad Yani sangat marah. Sampai-sampai, dalam suatu kejadian, Yani menempeleng Soeharto. Soeharto dianggap mempermalukan korps Angkatan Darat (AD). Tak hanya itu, Jenderal AH Nasution mengusulkan agar Soeharto diadili di Mahkamah Militer dan dipecat dari AD. Namun, usulan itu dimentahkan oleh Mayjend Gatot Subroto. Alasannya, Soeharto masih bisa dibina. Akhirnya, Soeharto pun disekolah di Seskoad di Bandung.
Cerita tentang Soeharto sebagai penyelundup ini bukan barang baru. Harold Crouch dalam The Army and Politics In Indonesia juga menyinggung hal tersebut. Menurut Crouch, Soeharto dicopot tahun 1959 karena keterlibatannya dalam penyelelundupan. Robert E Elson, yang menulis buku Suharto, A Political Biography (2001), juga menyinggung bisnis ilegal Soeharto tersebut. Yang Kedua, Soeharto membangun klik di dalam tubuh Angkatan Darah (AD) saat itu. Soebandrio menyebutnya Trio Soeharto-Yoga-Ali. Awalnya, pada tahun 1959, Soeharto tiba-tiba memanggil pulang Yoga Soegama, yang saat itu masih menjabat sebagai Dubes Indonesia di Yugoslavia. Saat itu, Soeharto memanggilan Yoga untuk diberi jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad.
Bagi Soebandrio, pemanggilan Yoga oleh Soeharto itu bermasalah. Pertama, pemanggilan Yoga itu diluar aturan formal alias menabrak aturan. Semestinya, kata Soebandrio, yang punya otoritas memanggil Yoga itu adalah Ahmad Yani selalu Menteri/Panglima AD (Menpangad). Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah untuk mensabotase politik Bung Karno. Ketiga, untuk menghancurkan PKI.
Menurut Soebandrio, komplotan trio Soeharto-Yoga-Ali ini sudah berlangsung erat semasa di Kodam Diponegoro. Bahkan, Soeharto pernah menggunakan komplotannya ini untuk mensabotase rencana pengangkatan Kolonel Bambang Supeno sebagai Panglima Kodam Diponegoro.
Saat itu, pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno sebagai Pangdam Diponegoro. Kabar itu tercium oleh Soeharto, yang saat itu masih berpangkat Letkol tetapi ‘ngebet’ sekali jadi Pangdam. Untuk meraih cita-citanya, Soeharto menggelar rapat gelap dengan sejumlah perwira di Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Yoga Soegama, yang notabene komplotan Soeharto. Ketiga, Soebandrio juga menyingkap keterlibatan Soeharto dalam percobaan kudeta yang dirancang Tan Malaka untuk menggulingkan Kabinet Sjahrir pada tanggal 3 Juli 1946. Awalnya, kata Soebandrio, kelompok Tan Malaka mengajak semua kalangan militer di Jawa Tengah, termasuk Soeharto, dalam gerakan tersebut.
Pada tanggal 20 Juni 1946, Perdana Menteri Sjahrir diculik oleh kelompok Soedarsono. “Soeharto selaku salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam penculikan itu,” ujar Soebandrio.
Tanggal 2 Juli 1946, dua batalyon pasukan penculik berkumpul di markas Soeharto. Pasukan itu kemudian dikerahkan untuk menguasai aset strategis, seperti RRI dan Telkom. “Malam itu juga mereka menyusun surat pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya ditandatangani oleh Presiden Soekarno esok harinya,” ungkap Soebandrio. Tetapi percobaan kudeta itu gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Pada saat itulah Soeharto berbalik arah, dari awalnya berkomplot dengan penculik kemudian menangkapi para penculik.
Namun, cerita tentang kelicikan Soeharto dalam peristiwa percobaan kudeta tanggal 3 Juli 1946 itu bukan cerita baru. M Yuanda Zara dalam bukunya Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia juga mengungkap kelicikan Soeharto itu. Menurut Yuanda, Soeharto sebetulnya terlibat dalam pembebasan tahanan pro-kudeta di penjara Wirogunan. Ia kemudian membawa tanahan itu ke markasnya, di Wiyoro, di mana Soedarsono sudah menunggunya.
Di malam itu juga, kata Yuanda, Mohammad Yamin Cs membuat konsep maklumat kepada Presiden Soekarno, yang isinya seolah-olah penyerahan kekausaan kepada Tan Malaka. Pembuatan konsep maklumat itu dilakukan di markas Soeharto. Rencananya, maklumat itu akan dibawa oleh Soedarsono esok paginya, 3 Juli 1946, ke Presiden Soekarno. Dengan liciknya, Soeharto membocorkan info ini ke pihak Istana dan sekaligus memberitahu rencana Soedarsono ke Istana. Alhasil, pada tanggal 3 Juli 1946, ketika Soedarsono ke Istana Presiden, ia dengan gampang dilucuti oleh pasukan pengawal Presiden.
Padahal, sebelumnya Bung Karno pernah memerintahkan Soeharto melalui pesan yang dibawa oleh Sundjojo, Ketua Pemuda Pathuk, untuk menangkap atasannya, Mayor Jenderal Sudarsono, karena dicurigai ingin merebut kekuasaan. Tetapi Soeharto menolak perintah Presiden Soekarno tersebut. Sampai-sampai Soekarno marah dan menyebut Soekarno sebagai “Opsir koppig” (opsir yang keras kepala). Kejadian ini memperlihatkan kepada kita, betapa lihainya Soeharto dalam membaca situasi, mengambil keuntungan di dalamnya, dan secara licik tampil sebagai pahlawan. Yuanda menyebut ini strategi nglurug tanpa bala, menyerbu tanpa pasukan, tetapi memakai tangan orang lain untuk kepentingannya.
Soeharto di Bawah Militerisme Jepang
Buku ini adalah satu-satunya karya ilmiah yang membicarakan perjalanan hidup Soeharto di usia awal 20-an, di masa-masa yang penuh gejolak dan perubahan kondisi sosial politik yang tak terduga. Inilah perjalanan hidup Soeharto di usia awal 20-an, di masa-masa yang penuh gejolak dan perubahan kondisi sosial politik yang tak terduga. Pulau Jawa di awal 1942 dalam keadaan panik dan bingung. Menyerahnya Belanda kepada kekuatan Jepang telah membalikkan mitos keunggulan bangsa Eropa (Belanda). Kekuasaan tanpa tantangan di Jawa selama 110 tahun itu berakhir hanya delapan hari pertempuran. Rakyat Jawa, termasuk Soeharto, seperti tersadar bahwa ternyata ada yang melebihi superioritas Eropa, yaitu saudara sesama Asia, Jepang, yang bertempur dengan roh spiritual, semangat juang dan tanggungjawab atas kewajiban suci kepada Kaisar Jepang. Dan semua itu adalah nilai-nilai yang sangat dipahami orang Jawa.
Soeharto muda, dengan ketenangan, loyalitas, kecakapan dan kesederhanaan perilakunya, telah memberi kesan mendalam bagi para instrukturnya, para perwira Jepang, di Peta. Berkali-kali Soeharto mendapatkan tugas khusus dan penting, termasuk tugas melatih kembali batalyon Peta Blitar setelah mereka melakukan pemberontakan, suatu tugas yang sangat sensitif.
David Jenkins, wartawan senior Australia ini, tidak main-main mengumpulkan segala keping puzzle, menyatukan ingatan tokoh-tokoh yang terlibat di masa muda Soeharto, yaitu para pejabat Tentara ke-16 AD Jepang dan Beppan serta kawan-kawan Soeharto di Peta. Lewat serangkaian wawancara, David Jenkins mendapatkan temuan-temuan menarik dan humanis, melengkapi daftar referensi yang membuat buku Soeharto di Bawah Militerisme Jepang ini bukan sekadar sajian intelektual, tapi juga sebuah tuturan riwayat yang informatif atas seorang pemuda, yang karena kecakapan sekaligus keberuntungannya, kelak menjadi penguasa sebuah rezim, Orde Baru.
Kebangkitan Soeharto, Kebangkitan Kapitalisme Indonesia.
Rezim Soeharto memang telah runtuh. Namun, perbincangan mengenai rezim ini tidaklah berhenti. Rezim ini selalu dibicarakan terkait pengaruhnya terhadap Indonesia. Salah satu perubahan yang paling menarik untuk diteliti ialah berkembangnya kapitalisme di Indonesia.
Richard Robison dalam buku Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia menguraikan dengan baik evolusi negara-terkait pertumbuhan kelas kapitalis-zaman prakolonial, kolonial, orde lama, hingga orde baru. Penjelasan yang sistematis ini diperlukan untuk melihat sifat dari kapitalisme Indonesia. Jika kita melihat secara runut sejarah, sifat kapitalisme Indonesia sangat unik. Sejak awal kemunculannya, kelas kapitalis Indonesia sangat berbeda dengan Amerika dan Eropa. Kaum borjuis Indonesia tidak melakukan pertentangan terhadap kaum feodal. Dalam analisis Marx tentang sejarah perkembangan masyarakat, kelas borjuis ini mulai tumbuh di masa feodalisme. Kemudian mereka inilah yang melakukan revolusi, menengelamkan kekuasaan feodalisme yang dianggap menghambat gerak mereka.
Dalam buku ini, dijelaskan kerangka masyarakat nusantara prakolonial, tidak mengarah pada terbentuknya borjuasi pemilik tanah, borjuasi pertanian, dan borjuasi perdagangan. Bahkan hingga Belanda membawa sistem industrialisasi ke Hindia Belanda, sedikit sekali pribumi yang dapat berkembang menjadi kelas borjuis. Bahkan, Robison melihat kultur feodalisme menginternalisasi di setiap lapisan masyarakat. Salah satunya nilai-nilai patronase yang tertanam kuat hingga kini.
Selain itu, ada yang paling menarik dari buku ini. Robison akan membawa kita pada dinamika pembentukan kelas kapital domestik dan kapital milik negara. Pasca kemerdekaan, keduanya merupakan faktor penentu dalam membentuk sejarah kapital Indonesia kontemporer.
Sejak 1949, ketika pemerintahan dijalankan dengan parlementer, negara berusaha menciptakan landasan pijak bagi akumulasi kapital para kapitalis. Kondisi yang diciptakan berupa pemberian pinjaman modal (pada realitasnya sering mengalami gagal bayar), menciptakan regulasi khusus, proteksi dan subsidi negara. Akhirnya, yang tumbuh dari sistem ini hanyalah kelas kapitalis kecil dan lemah. Mereka bukanlah golongan yang menyandarkan pada individualitas dan kemandirian, sebagaimana nilai-nilai kapitalisme itu sendiri. Apalagi, kelas kapital swasta domestik tersebut mengandalkan hubungan spesial dengan partai-partai politik saat itu. Kebijakan tersebut secara umum pun dianggap gagal. Struktur ekonomi tetap sama dengan masa kolonial lahir. Antitesisnya, membentuk kapitalisme negara. Inilah yang diterapkan demokrasi terpimpin, yang ternyata disokong dan digerakan oleh militer. Dengan kendali militer, perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi dan dikendalikan militer. Hasil nasionaliasasi ini membentuk BUMN.
Kapitalisme asing baru bermain di Indonesia ketika Soeharto menaiki tampuk kekuasaan. Selain mengundang perusahaan swasta asing, pemerintahan Soeharto juga mengundang lembaga utang asing untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang sempat terpuruk di akhir demokrasi terpimpin. Kebijakan tersebut memicu peristiwa Malari, sebagai titik balik kebangkitan kapitalisme swasta domestik. Negara mengambil peran sebagai katalisator. Bisa dikatakan bahwa mereka lahir dari rahim negara. Setelah, kelas kapitalis ini dapat berlari kencang, mereka bertransformasi menjadi kelas terpenting dalam ekonomi politik Indonesia. Dampaknya, setiap kebijakan pembangunan wajib mempertimbangkan kepentingan mereka. Anehnya, sekalipun kelas kapitalis ini lahir dari rahim negara, negara tidak luput dari cengkramannya. Ibarat kacang lupa kulitnya.
Gilanya lagi, hubungan antara kaum birokrat negara dengan kapital swasta berkembang lebih intim dan rumit yang menjurus pada pembentukan basis sosial atas kekuasaan negara. Penguasa dan pengusaha menyatu melalui persetubuhan modal dan birokrasi Negara. Semuanya berujung pada kelahiran keluarga-keluarga politik birokratis serta konglomerat raksasa yang posisinya tidak ditentukan oleh mekanisme pasar yang abstrak, tetapi lewat pertautan dengan suatu sistem patronase amat korup dan tersentralisasi di bawah Soeharto. Inilah perkembangan mendasar kelas kapital di Indonesia yang berpusat pada elemen korporasi yang lebih besar dari pada kapital kecil yang semakin surut perannya.
Karena itulah, jangan heran jika kaum kapitalis tidak akan mengubah kultur feodalisme. Mereka tidak akan membawa perangkat institusi dan ideologi demokrasi liberal seperti masyarakat barat. Toh, mereka sudah dininabobokan negara. Sangat mungkin mereka mempertahankan apapun bentuk negaranya, yang penting akses dan pengaruh pada kebijakan negara terjamin.
Lalu bagaimana dengan kelas kapitalis Indonesia? Sejak reformasi terbuka, kelas kapital yang tadinya didominasi kroni-kroni Soeharto, kini lebih terbuka aksesnya. Bahkan untuk kapital asing. Terlebih dengan adanya perdagangan bebas. Masuknya kapital asing seolah ingin mengubur kapital swasta domestik. Jelas mereka lebih resistan. Jika pemerintah tidak memberikan proteksi sewajarnya, terutama pada kelas kapital kecil, maka jangan berharap progam-progam UMKM akan berhasil maksimal. Pendidikan enterpreneur yang tadinya bertujuan menumbuhkan kelas kapital domestik baru pun hanya sebuah utopia. Perselingkuhan penguasa dan pengusaha memang harus dilawan, tapi bukan meniadakan proteksi kelas kapital domestik.
Oleh karena itu, buku ini sangat layak untuk dibaca, seberapapun terlambatnya edisi Indonesia ini. Terlebih karena buku ini bukan hanya kaya data empiris, tapi juga menyumbang pemikiran teoritis.
0 Response to "Orde Baru (Kepemimpinan Soeharto)"
Posting Komentar